Kewajiban Suami Dan Istri Dalam Syariat Islam

Islam menganjurkan setiap pemeluknya untuk berkeluarga sebagaimana pada bahasan artikel tawaran berkeluarga dalam Islam. Sesudah berkeluarga, maka sang pria akan berubah status menjadi suami dan sebaliknya sang perempuan akan bermetamorfosis Istri. Bagaimana kewajiban masing-masing sebagai Suami dan sebagai Istri dalam Syariat islam?

Berikut ini ialah beberapa sumber rujukan terkena kewajiban suami dan kewajiban istri yang bersumber dari Al-Qur’an dan beberapa pendapat dari Imam Mazhab yang sanggup kita jadikan pedoman tentang apa saja kewajiban suami dan kewajiban istri dalam aliran syariat Islam.


Apa Kewajiban Suami dalam Syariat Islam?

Kewajiban suami terhadap istrinya ialah mempersembahkan nafkah baik nafkah lahir maupun batin. Adapun kewajiban istri kepada suaminya berdasarkan para andal fikih ialah spesialuntuk sebatas mempersembahkan pelayanan secara seksual kepada suaminya. Sedangkan hal-hal menyerupai mencuci, memasak, menata memmembersihkankan dan mengatur dan rumah intinya ialah ialah kewajiban dari suami dan bukan kewajiban dari seorang istri.

 Islam menganjurkan setiap pemeluknya untuk berkeluarga sebagaimana pada bahasan  Kewajiban Suami dan Istri dalam Syariat Islam
Di dalam syariat Islam yang memiliki kewajiban mencuci baju dan memasak dan memang bukanlah pihak istri, akan tetapi kewajiban suami. Hal ini dikarenakan ketiruana hal itu ialah bab dari nafkah yang wajib didiberikan oleh pihak suami kepada pihak istri.

Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Artinya: Kaum pria itu ialah pemimpin bagi kaum wanita, oleh lantaran Allah sudah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan lantaran mereka (laki-laki) sudah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Bagaimana kewajiban suami dan kewajiban istri berdasarkan pendapat para Imam Mazhab.

Keterangan di atas, ialah adalah ialah suatu kesimpulan dari para ulama besar, yang tingkatnya hingga pada mujtahid mutlak. Dan apabila kita telaah dalam kitab-kitab fikih yang mereka buat, ternyata sangat menarikdanunik.

Pada kenyataannya terdapat 4 mazhab besar dan satu satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri yang menandakan dan setuju bahwa pihak istri pada hakikat dan dasarnya memiliki dan kewajiban untuk berkhidmat atau melayani kepada suaminya.

Pendapat dari Mazhab Imam al-Hanafi tentang kewajiban suami dan istri

Dalam Kitab Al-Bada’i, Al-Imam Al-Kasani menandakan seandainya seorang suami pulang dengan membawa materi kuliner yang masih harus diolah dan dimasak terlebih lampau, kemudian sang istri enggan untuk mengolah dan memasaknya, maka sang istri itu dihentikan dipaksa mengerjakannya. Justru, pihak suamilah yang diperintahkan biar membawa pulang materi kuliner yang siap untuk dimakan.

Disebutkan juga dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah sebut Seandainya sang istri menyampaikan Saya tidak mau memasak dan membuat roti, maka sang istri dihentikan dipaksa untuk mengerjakannya. Dan seorang suami harus memdiberi istri kuliner atau materi pangan yang siap santap atau siap makan, atau dengan menyediakan pemmenolong untuk mengolah atau memasak makanan.

Pendapat Mazhab Maliki tentang Kewajiban Suami dan isti

Kitab karangan Ad-Dardir yaitu Asy-syarhul Kabir disebutkan bahwa wajib bagi suami untuk melayani atau khidmat kepada istrinya. Meskipun sang suami memiliki kelapangan rezeki sedangkan sang istrinya memiliki kemampuan untuk berkhidmat atau melayani suami, akan tetapi tetap kewajiban sang istri bukanlah untuk berkhidmat atau melayani suami. Disebutkan bahwa suami ialah pihak yang wajib untuk berkhidmat. Oleh lantaran itu, wajib bagi suami untuk menyediakan seorang pemmenolong untuk istrinya.

Pendapat Mazhab Imam As-Syafi'I hening kewajiban suami dan Istri

Dalam Kitab hasil karya Abu ishaq Asy-Syirazi rahimahullah yaitu Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab disebutkan bahwa tidaklah wajib bagi istri untuk berkhidmat atau melayani untuk memasak, membuat roti, mencuci serta bentuk khidmat atau pelayanan yang lainnya, hal ini lantaran yang diputuskan dalam kesepakatan nikah ialah kewajiban mempersembahkan pelayanan seksual, sedang pelayanan atau khidmat yang lainnya bukan termasuk kewajiban istri.

Pendapat Mazhab Imam Hanabilah terkena kewajiban suami dan istri

Pendapat dari Imam Hanabilah sebut bahwa pihak istri tidak memiliki kewajiban untuk berkhidmat kepada pihak suami, baik dalam bentuk memasak, menyapu rumah, mengadoni materi makanan, membuat roti, dan yang lain sejenisnya, termasuk menimba air di sumur. Ini ialah ialah nash Imam Ahmad rahimahullah. Dasar dari pendapat ini ialah lantaran aqadnya spesialuntuk berkewajiban mempersembahkan pelayanan seksual. Maka pelayanan atau khidmat dalam bentuk yang lain tidak wajib dilakukan oleh pihak istri, menyerupai memguan tanaman atau mempersembahkan minum.

Pendapat Mazhab Imam Az-Zhahiri tentang kewajiban suami dan istri

Di dalam mazhab fikih yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri, juga ditemukan pendapat tegas dari para ulama yang sebut bahwa istri tidak memiliki kewajiban untuk membuat roti, mengadoni, memasak dan bentuk khidmat yang lain sejenisnya, meskipun suaminya anak khalifah.

Disebutkan bahwa pihak suami yang tetap memiliki kewajiban untuk menyediakan pemmenolong atau orang yang sanggup menyiapkan untuk istrinya minuman dan kuliner yang siap untuk di makan atau disantap. Pihak suami juga berkewajiban untuk menyediakan pemmenolong atau pelayan yang diperuntukkan untuk menyediakan daerah pulas dan menyapu.

Pendapat lain Yang Berbeda tentang kewajiban suami dan istri

Dalam Kitab Fikih Kontemporer karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Beliau mempersembahkan pendapat yang tidak sama dan agak kurang baiklah dengan pendapat-pendapat Dr. Yusuf Al-Qaradawi cenderung beropini tetap menyampaikan bahwa pihak perempuan atau istri ialah pihak yang wajib berkihdmat atau mempersembahkan pelayanan selain spesialuntuk urusan seksual kepada pihak suami.

Dalam pendapat Dr. Yusuf Al-Qaradawi, pihak istri wajib untuk berkhidmat dalam menyapu, memasak, memmembersihkankan rumah, dan mengepel. Karena tiruana hal tersebut ialah ialah bentuk timbal balik dari nafkah yang sudah didiberikan oleh suami kepada istrinya.

Kita sanggup memahami akan pendapat dari Syeikh yang hidupnya di Doha Qatar yaitu Dr. Yusuf Al-Qaradawi, akan tetapi satu hal yang tidakboleh dilupakan, Dr. Yusuf Al-Qaradawi sebut bahwa pihak suami tetap berkewajiban mempersembahkan nafkah kepada pihak istri, di luar urusan atau hal kepentingan berkaitan dengan rumah tangga.

melaluiataubersamaini demikian pihak istri harus dipenghasilan dengan nilai yang niscaya oleh pihak suaminya. Hal ini dikarenakan Allah SWT sudah berfirman di dalam Al-Qur’an yang sebut bahwa pihak suami itu mempersembahkan nafkah  kepada pihak istrinya.  Dan pengertian dari memdiberi nafkah itu tidak spesialuntuk sekedar membiayai untuk keperluan rumah  tangga, akan tetapi lebih dari hal itu, sehingga pihak suami harus 'mengpenghasilan' para istri. melaluiataubersamaini demikian uang penghasilan tersebut harus di luar dari tiruana biaya keperluan rumah tangga.

Pada kehidupan yang nyata, yang sering terjadi memang terlihat guah, yaitu pihak suami menyerahkan penghasilannya kepada pihak istri, kemudian tiruana kewajiban suami harus dibayarkan oleh istri dari penghasilan tersebut. Apabila masih terdapat sisa, tetap saja itu tidak lantas menjadi hak pihak istri. Dan lebih celaka lagi, apabila penghasilan tersebut kurang, terkadang pihak istri yang harus memikirkan untuk mengatasi belum sempurnanya tersebut.

Sehingga pendapat dari Syeikh Al-Qaradawi tersebut di atas, sanggup menjadi masukan yang sanggup kita terima, dengan catatan pihak istri juga harus mendapat 'jatah penghasilan' yang niscaya dari pihak suaminya, di luar urusan kebutuhan atau kepentingan rumah tangga.

Tugas Suami dan Istri pada Masa Salaf

Memang secara terang kita tidak menemui di dalam al-Qur’ann dan juga di dalam hadits Nabi yang menerangkan, sebut dan menandakan bahwa yang memiliki kewajiban memasak, mencuci pakaian, menyetrika, menjemur, memmembersihkankan rumah,melipat baju dan khidmat lainnya ialah pihak suami.

Secara esksplisit aturan-aturan semacam itu tidak akan kita temukan. Yang kita temukan ialah berupa teladan kasatmata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW dan teladan kasatmata dari kehidupan para shahabat Nabi. Akan tetapi akungnya adalah, memang tidak terdapat dalil-dalil atau hadits yang bersifat eksplisit. Semua dalil atau hadits sanggup ditarik kesimpulannya dengan cara yang tidak sama.

Suatu teladan contohnya tentang Fatimah puteri Nabi SAW yang bekerja sendiri tanpa pemmenolong. Sering kali kisah tentang Fatimah yang bekerja sendiri tanpa pemmenolong ini dijadikan  hujjah oleh kalangan yang mewajibkan perempuan untuk bekerja untuk berkhidmat kepada pihak suami. Akan tetapi, ada banyak kajian yang menarikdanunik terkena kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja sanggup dijadikan sebagai dasar kewajiban perempuan bekerja untuk khidmat suaminya.

Kisah dongeng sebaliknya, dari Asma' binti Abu Bakar yang justru didiberikan dan disediakan pemmenolong rumah tangga oleh mertuanya. Karena kebaikan mertua dan suami Asma' memang tidak bisa untuk menyediakan pemmenolong. Sehingga kewajiban suami itu ditangani oleh pemmenolong yang disediakan oleh mertua Asma. Asma' ialah perempuan berdarah biru dari golongan Bani Quraisy.

Dari kisah dongeng yang lain dari Saad bin Amir ra., seorang lelaki yang diangkat menjadi gubernur oleh Khalifah Umar di kota Himsh. Ketika menjalankan tugasnya sebagai gubernur, dia sering di komplain oleh penduduknya lantaran sering terlambat berangkat ke kantor, Saad bin Amir berasalan bahwa  terlambatnya ialah lantaran dirinya tidak memiliki pemmenolong di rumah. Sehingga tidak ada orang yang sanggup disuruh untuk mencuci baju atau memasak buat istrinya.

Dalam islam Perempuan Tidak memerlukan Gerakan Pembebasan

Apabila kita mengkaji lebih mendalam kajian tentang kewajiban istri dan suami dengan benar, ternyata aliran Islam sangat mempersembahkan ruang kepada pihak perempuan dalam hal ini istri untuk dapat  menikmati hidup mereka. sehingga tidak terdapat alasan bagi para perempuan muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan perempuan di barat, yang masih primitif lantaran hak-hak perempuan disana masih saja dikekang.

Sudah semenjak 14 kurun Islam sudah memposisikan pihak perempuan atau istri sebagai makhluk yang harus didiberi,  dihargai, dan dimanjakan bahkan didiberikan penghasilan. Posisi seorang istri di rumah tidaklah sebagai pemmenolong yang sanggup disuruh-suruh dengan seenaknya. Seorang istri bukanlah pemmenolong atau jongos yang pekerjaanya serabutan dan sanggup bekerja apapun mulai dari membersihkan-membersihkan, memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, bekerja dari pagi membuka mata dan tidak berhenti hingga larut malam. Itupun masih harus melayani pihak suami dalam hal seksual ketika tubuh mereka sudah kelelahan.

Namun, apabila dikala ini para ibu-ibu atau istri mengerjakan hal yang demikian, maka niatkanlah ketiruananya itu sebagai niat ibadah dan lakukanlah tiruana itu dengan ikhlas. Karena kunci amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah niat. melaluiataubersamaini demikian, fainsya Allah, Allah swt, akan mempersembahkan pahala kepada para ibu, para istri yang teramat besar. Dan semoga juga para suami sanggup lebih banyak mempelajari dan menpenghasilan aliran Islam dengan sempurna. Wallahu a’lam.

Semoga masing-masing pihak sanggup menjalankan kewajiban sebagai sumai dan kewajiban sebagai istri sesuai dengan syariat dan aliran Islam.
0 Komentar untuk "Kewajiban Suami Dan Istri Dalam Syariat Islam"

Back To Top