Sesudah seseorang mendapat pengetahuan, ibarat pengetahuan wacana dunia dan akhirat, misalnya, ia memulai proses berpikir melalui urutan premis-premis diberikut. Premis pertama, yaitu ia bertanya pada dirinya sendiri, manakah yang lebih infinit eksistensinya, alam abadi atau dunia? Seseorang tidak perlu menjadi alim besar sehingga ia mengetahui bahwa alam abadi yaitu lebih infinit dan lebih awet dengan bukti apa yang dilihatnya berupa keterbatasan dunia ini. Premis kedua, yaitu ia bertanya pada dirinya sendiri, apabila ia dihadapkan pada pilihan antara sesuatu yang keberadaan lebih infinit dengan yang lainnya, manakah yang akan ia pilih dan lampaukan dan manakah yang akan ia tinggalkan dan akhirkan?
Kesimpulan, setelah mengetahui dua premis itu, yaitu "akhirat itu abadi" dan "yang infinit lebih pantas untuk dipilih dan diutamakan," maka ia sanggup menerapkan bentuk pertama silogisme. Bagian yang diulang, yaitu "yang abadi," dimembuang sehingga dihasilkan konklusi yang diinginkan, yaitu "akhirat lebih pantas dipilih dan diutamakan." Konklusi atau kesimpulan inilah yang dipilih nalar manusia.
Tidak ada akal yang menentukan dan menlampaukan sesuatu yang terbatas, terputuskan berakhir atas sesuatu yang infinit dan awet, terutama alasannya yang terbatas itu sudah menyertai dirinya dan bercampur dengan kepedihan, kelelahan, dan kesusahan. Sebaliknya, sesuatu yang tidak tidak terbatas sudah menyelamatkan dan menyucikan dirinya, dan tidak bercampur dengan kepedihan dan kesusahan.
Kadang - kadang, dikatakan bahwa seseorang bisa menghimpun di antara keduanya, sehingga ia menentukan dunia dan alam abadi sekaligus. Namun, kami akan membuktikan hal itu selelah ini, insya' Allah, bahwa dunia dan alam abadi pada umumnya ialah dua kutub yang berlawanan. Setiap kali seseorang mendekat ke salah satu kutub, maka ia akan menjauh dari kutub yang lain. Bahkan, sanggup dikatakan bahwa tidak mungkin menggabungkan keduanya sama sekali, kalau dunia ialah kekerabatan dengan selain Allah dan alam abadi ialah kekerabatan dengan Allah Azza wa Jalla. Allah sekali-kali tidak mengakibatkan bagi seseorang dua buah hati di dalam rongganya.[ QS al-Ahzab [33]: 4.] Jika hati dipenuhi kecintaan pada dunia, maka ia hampa dari kecintaan kepada Allah SWT. Sebaliknya, kalau hati dipenuhi kecintaan kepada Allah SWT, maka ia hampa dari kecintaan kepada selain-Nya.
Perumpamaan lain, kami katakan seseorang menurut wataknya sering mengkaji takwil mimpinya. Ketika ia bermimpi bahwa ia minum susu atau air, maka dikatakan kepadanya contohnya bahwa air yaitu pesan yang tersirat atau ilmu pengetahuan. Susu mempunyai aspek lahiriah, yakni susu yang biasa kita lihat dan kita minum. Ia juga mempunyai aspek batiniah, yaitu pesan yang tersirat dan ilmu pengetahuan. Jadi, lahiriahnya yaitu jalan yang mengantarkan pada hakikat, ibarat metafora (majaz) dalam bahasa yang ialah jalan untuk hingga pada makna hakiki.
Demikian pula, dunia ini seluruhnya bukan spesialuntuk pulas merupakan jalan menuju hakikat, bukan hakikat itu sendiri. Dunia merupakan "negeri daerah transit," dan melalui daerah tersebut seseorang sanggup hingga ke tujuan dan maksudnya, yaitu "negeri akhirat" yang ialah daerah menetap.
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini spesialuntuklah kesenangan /sementara] dan sesungguhnya alam abadi itulah negeri yang infinit [QS al-Mu'min [40]: 39.]. Yaitu kehidupan yang hakiki.
Dan sesungguhnya alam abadi itulah yang bekerjsama kehidupan, kalau mereka mengetahui.[ QS al-'Ankabut [29]: 64.]
Manusia sanggup menjalankan proses berpikir melalui pengetahuan- pengetahuan ini, kemudian ia menyusun beberapa premis semoga setelah itu dihasilkan konklusi yang diinginkan. Ia berkata:
Sebagai premis pertama "Negeri alam abadi yaitu kehidupan hakiki dan daerah menetap."
Sebagai premis kedua: "kehidupan hakiki yaitu lebih pantas menjadi tujuan perbuatan."
melaluiataubersamaini demikian, dihasilkan konklusi: "Akhirat lebih pantas dijadikan tujuan perbuatan."
Demikianlah, alasannya orang cerdik yaitu orang yang berpegang pada konklusi ini sehingga ia menentukan alam abadi dan menlampaukannya atas dunia. Sebab, berinfak untuk daerah transit, bukan daerah menetap. Orang yang bekerja tanpa berpikir untuk sesuatu yang akan sirna dan tidak hakiki, bukan hakikat yang awet, maka pekerjaan tersebut ialah pekerjaan orang-orang bodoh.
Dua proses berpikir yang sudah dikemukakan ialah dua substantsiasi (mishdaq)—sesuatu yang menjadi bukti dan penegas (penj.)—dari substansiasi-substantiasi berpikir yang benar dan yang harus selalui dipegang seseorang untuk memperoleh konklusi yang diinginkan, yang diperlukan dan ingin dicapai di dalam kehidupannya.
Tag :
Ilmu Keseharian
0 Komentar untuk "Cara Seseorang Berpikir Ihwal Dunia Dan Akhirat"