Guru-Guru (Syekh-Syekh) Imam Syafii

Guru-guru Imam Syafii yang pertama ialah Muslim Khalid Az-Zinji dan lain-lainnya dari imam-imam Mekah. Ketika umur ia tiga belas tahun ia mengembara ke Madinah. Di Madinah ia mencar ilmu dengan Imam Malik hingga Malik meninggal dunia. Dan masih banyak lagi guru-gurunya yang lain dari kampung-kampung atau kota-kota yang besar yang dikunjunginya. 

Di antara guru-gurunya, di Mekah ialah, Muslim bin Khalid Az-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud. Sementara di Madinah, ialah Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Ansari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi, Ibrahim in Yahya Al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ As-Saigh. 

Di Yaman : Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf kadhi bagi kota San’a, Umar bin Abi Maslamah, dan Al-Laith bin Saad. Di Irak; Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin Al-Jarrah Al-Kufi, Abu Usamah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Attiah Al-Basri dan Abdul Wahab bin Abdul majid Al-Basri. 

Menurut apa yang sudah kita ketahui bahwa guru-guru Imam Syafii yaitu sangat banyak, di antara mereka yang mengutamakan wacana hadits ada juga mengutamakan wacana pikiran (Ar-Ra’yi). Di antaranya pula ada dari orang Mu’tazilah bahkan ada juga dari orang Syi’ah dan setengah dari mereka yaitu dari mazhab Imam Syafii dan seerusnya. 

Keadaan gurunya yang berlainan sanggup memmenolong ia dalam meluaskan bidang ilmu fiqih, juga menambah banyaknya ilmu-ilmu yang dipelajari serta meninggikan ilmu pengetahuannya. 

Di baghdad Imam Syafii mempelajari ilmu hadits dan ilmu nalar yaitu dari gurunya Muhammad bin Al-Hasan. Beliau menulis ilmu-ilmu yang diterima daripadanya pada keseluruhannya. Beliau sangat menghormati gurunya, dan begitu juga gurunya menghormatinya. Imam Syafii menghormati majlis-majlis gurunya lebih dari majlis-majlis raja-raja. Beliau tidak pernah meninggalkan majlis-majlis pelajaran yang diadakan oleh gurunya. Oleh alasannya yaitu itu membesarkan dan menghormati gurunya ia tidak pernah bercengkrama-bincang dengan gurunya kecuali sehabis ia mendapat izin dari gurunya. Apabila gurunya meninggalkan majlis pelajaran ia terus mempertahankan kedudukan ilmu fiwih orang-orang Madinah. 

Pada suatu saat gurunya mengizinkan ia bercengkrama-bincang dengannya ia sudah menang dalam perbincangan tersebut. Imam Syafii menganggap dirinya sebagai alim dalam ilmu fiqih dari Madinah, dan juga sebagai seorang teman bersahabat dari malik bin Anas. 

Tidak beberapa usang kemudian, langsung Imam Syafii mulai berubah dan lebih tinggi, yaitu sehabis ilmunya sudah banyak dan tinggi, ia mulai mempersembahkan pendapat-pendapatnya yang tersendiri. Kadangkala pendapatnya berlawanan dengan pendapat gurunya. Imam Syafii beropini bahwa sebagian orang banyak elah melampaui memuliakan Imam Malik, di Andalusia terdapat sebuah kkopiah kepunyaan Imam Malik, kopiah tersebu dimuliakan untuk mengambil berkat. Apabila dikatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda : Malik yaitu seorang insan biasa yang mungkin melaksanakan kebenaran dan mungkin pula melaksanakan kekhilafan, oleh alasannya yaitu itu ia mulai mengritik Malik. Untuk tujuan yang demikian ia menulis sebuah kitab yang didiberinama “Khilaf Malik” (“Khilaf Malik” artinya “Tantangan terhadap Malik”.). Imam Syafii menegaskan dalam kitabnya bahwa tidak ada pemikiran bila ada hadits, kitab tersebut disembunyikan selama satu tahun sebagai penghormatan terhadap gurunya. Kemudian disebarkan kepada seluruh manusia. 

Langkah tersebut di atas yaitu bertujuan untuk kebaikan agama, tidak sekali-kali bertujuan untuk mendapat kemasyhuran dengan tafaf gurunya., buktinya, ia tidak sekali-kali menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan Imam Malik melainkan dengan katanya “Al-Ustaz”. 

Imam Syafii bukan saja mengritik pendapat-pendapat gurunya (Imam Malik), tetapi ia juga pernah mengritik pendapat Abu Hanifah dan Al-Auz’i, oleh alasannya yaitu itu ia sering menemui kesusahan. 

Oleh alasannya yaitu itu Imam Syafii sering mempelajari kitab-kitab yang disusun oleh Muhammad bin Al-Hasan juga ilmu fiqih dari gurunya dari penduduk Irak serta mengadakan perbincangan ilmiah dengan mereka dengan cara itu ia sanggup menyatukan antara ilmu fiqih orang-orang Madinah dengan ilmu fiqih orang-orang Irak atau dengan kata lain; antara ilmu fiqih yang banyak menurut kepada pembiasaan dengan akal. 

Keadaan tersebut di atas menunjang ia untuk membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum, oleh alasannya yaitu itu ia populer di kalangan orang banyak dan tarafnya tinggi sebgaimana yang sudah diketahui.
0 Komentar untuk "Guru-Guru (Syekh-Syekh) Imam Syafii"

Back To Top