Al-Ghazali berkata: al-khalq dan al-khulq yaitu dua kata yang dipakai secara bersama. Dikatakan, Fulan husn al-khalq wa al-khulq, artinya: ia baik dalam batiniah dan lahiriahnya. Yang dimaksud dengan kliahi yaitu rupa lahiriah, sedangkan yang dimaksud dengan khulq yaitu rupa batiniah. Hal itu lantaran insan tersusun dari raga yang terindera dengan pandangan mata dan ruh dan jiwa yang diketahui dengan pandangan batin (bashirah). Masing-masing mempunyai rangka dan rupa yang bisa berupa keburukan dan bisa juga berupa keindahan. Jiwa yang diketahui dengan pandangan batin lebih besar kemampuannya daripada raga yang terindera dengan pandangan mata. Oleh lantaran itu, Allah mengagungkan ihwalnya dengan menisbahkannya kepada-Nya. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Aku akan membuat seorang insan dari m uli liat kering [yang berasal] dari lumpur hitam yang didiberi bentuk. Sehingga apabila Aku sudah menyempurnakan kejadiannya dan sudah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud (QS al-Hijr [15]: 28-29). Al- Ghazali menyimpulkan bahwa jasad dinisbahkan pada tanah (shalshal), sedangkan ruh dinisbahkan kepada Tuhan alam semesta. Yang dimakani dengan ruh dan nafs dalam hal ini yaitu sama.
Khulq yaitu bentukjiwa (nafs) yang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan simpel tanpa membutuhkan anutan dan pertlimbangan. Jika suatu bentuk memunculkan perbuatan-perbuatan indah dan terpuji berdasarkan nalar dan syariat, maka bentuk itu dinamakan etika yang baik. Namun, jikalau darinya muncul perbuatan-perbuatan buruk, maka bentuk itu dinamakan etika yang buruk. Dikatakan "yang terpatri" lantaran orang yang mendermakan harta sesekali saja untuk kebutuhan yang bersifat sementara, maka khulq-nya tidak dikatakan gemar memberi selama hal itu tidak terpatri di dalam dirinya. Kami mensyaratkan munculnya perbuatan-perbuatan darinya dengan simpel tanpa pertimbangan. Sebab orang yang bersusah payah mengeluarkan harta atau menahan murka dengan kesungguhan dan pertimbangan, maka khuq-nya tidak dikatakan gemar memberi dan sabar. Dalam hal ini terdapat empat aspek, sebagai diberikut.
Pertama, perbuatan baik dan buruk.
Kedua, kemampuan melakukannya.
Ke tiga, mengetahuinya.
keempat, bentuk bagi jiwa yang dengannya ia cenderung pada salah satu dari dua sisi itu dan ada kegampangan untuk melaksanakan salah satu nya, baik berupa kebaikan maupun keburukan.
Khulq bukan perbuatan (fi'l). Betapa banyak orang yang khulq-nya yaitu gemar memberi tetapi ia tidak mendermakan harta, bisa lantaran kehabisan harta atau lantaran ada halangan. Kadang-kadang, khulq-nya yaitu kebakhilan, tetapi ia mendermakan harta, bisa lantaran motif tertentu atau lantaran riya. Khulq juga bukan kemampuan (qudrah), lantaran kemampuan dinisbahkan pada menahan diri dan memdiberi. Akan tetapi terhadap kedua hal yang berlawanan itu keadaanya sama. Setiap orang diciptakan dengan fitrah dalam keadaan bisa memdiberi dan menahan diri. Hal itu tidak mengakibatkan munculnya khulq kebakhilan dan khulq kedermawanan. Khulq pun bukan pengetahuan (ma'rifah), lantaran pengetahuan berkaitan dengan kebaikan dan keburukan sekaligus pada tingkatan yang sama. Melainkan, khulq ialah makna keempat, itu bentuk yang dengannya jiwa berkemas-kemas untuk memunculkarn cap menahan diri atau memdiberi. Jadi, khulq ialah bentuk jiwa dan rupa batiniahnya (Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w.505), jil. 3, hal. 53, Dar al-Ma’rifah, Beirut).
Ucapannya "khulq ialah bentuk jiwa yang terpatri" mengatakan adanya bentuk-bentuk jiwa yang tidak terpatri. Jadi, bentuk-bentuk itu pada insan dibagi ke dalam dua kelompok.
Pertama, bentuk-bentuk yang tidak terpatri, yaitu bentuk-bentuk yang cepat hilang, menyerupai pucatnya wajah seseorang dikala aib atau memerah dikala marah.
Kedua, bentuk-bentuk yang terpatri, yaitu bentuk-bentuk yang tidak hilang, baik tidak hilang sama sekali, menyerupai warna kulit seseorang contohnya lantaran hal itu bukan sesuatu yang bisa dipilih (ikhtiyariyyah'), au tidak simpel hilang. Apabila bentuk itu hilang lantaran suatu sebab, maka ia akan segera kembali lagi inilah yang menjadi pokok pembahasan kita dan dinamakan pembawaan berdasarkan pilihan bebas (al malakah al-ikhtiyariyyah), menyerupai keadilan dan keberanian. Orang yang adil kadang kala melaksanakan sesuatu yang berperihalan dengan keadilan, tetapi ia segera meratapi perbuatannya dan kembali pada keadilannya. INI yang dimaksudkan dalam ucapan kami bahwa keadilan ialah bentuk yang terpatri di dalam eksistensi orang menyerupai ini.
Kemudian, disyaratkan adanya kegampangan dalam munculnya perbuatan-perbuatan dari bentuk-bentuk ini. Al-Ghazali berkata, "Bentuk mayang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan gampang" Kalau perbuatan-perbuatan ini muncul dari pelakunya dengan susah dan galau, maka sifat tersebut tidak dipandang sebagai imbawaan (matakah) dan etika (khulq). Kalau ia bingung sebelum berzakat kepada orang fakir, maka ia tidak dipandang seorang dermawan. Barangsiapa menghadapi seseorang dan meninggalkan orang lain di arena perang, maka ia tidak dipandang seorang pemberani. Akan tetapi, gemar memberi yaitu orang yang berderma dengan simpel dan berzakat tanpa pertimbangan, dan pemberani yaitu orang yang maju ke arena perang menyerupai kilat yang menyambar tanpa ada sesuatu pun yang menciptakannya takut.
Ketahuilah juga bahwa berdasarkan kadar terpatrinya pembawaan inilah seseorang berada di atas ash-Shirath. Oleh lantaran itu, kita akan mendapati sebagian orang melewati ash-Shirath menyerupai sambaran kilat; sebagian lagi silam dengan merayap; dan sebagian lain silam dalam keadaan hampir terjatuh sehingga tertahan.
Imam ash-Shadiqa.s. berkata, "Manusia melewati ash-Shirath dalam beberapa tingkatan. Ash-Shirdth itu lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang. Di antara mereka ada yang melewatinya menyerupai kilat, ada yang melewatinya menyerupai kecepatan lari kuda, ada yang melewatinya sambil merayap, ada yang melewatinya sambil berjalan kaki, dan ada yang melewatinya sambil bergantungan, kadang kala api neraka mengambil sesuatu darinya dan meninggalkan sesuatu yang lain. (Al-Amali karya ash-Shaduq, tahqiq: Mu’assasah al-Bi’rsah: 247/257)"
Hadis menyerupai ini pun diriwayatkan dari Nabi saw. Beliau bersabda, " silamnya mereka di atas ash-Shirath yaitu berdasarkan kadar cahaya mereka. (Ilm al-Yaqin fi Ushul ad-Din, karya Muhammad al-Murtadha (Mawla Muhsin al-Kasyani) (w.1091 H), Intisyarat Bidar.)"
Penyebab tiruana ini tiada lain lantaran insan dalam kehidupan ini kadang kala melaksanakan kebaikan yang kadang kala tidak diketahuinya dan kadang kala diketahuinya dengan adanya kecenderungan jiwa atau kebencian jiwa. Hal ini tiruana kembali pada keyakinannya dan sejauh mana terpatrinya iman itu di dalamjiwanya. Sebab, tanpa iman yang terpatri, mustahil perbuatan hadir dari diri insan dengan simpel dan dengan pertimbangan.
Ini dari satu sisi. Sementara itu, dari sisi lain, iman yang benar ialah sumber bent uk yang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan terpuji dan yang dinamakan etika yang baik. Sebaliknya, iman yang batil ialah sumber bentuk yang darinya muncul perbuatan - perbuat an jelek dan yang dinamakan etika yang buruk.
Tag :
Ilmu Akhlak
0 Komentar untuk "Definisi Ilmu Adat Dari Al Ghazali"