"Wahai yang mulia, bersungguh-sungguhlah dalam berusaha untuk mempunyai keteguhan hati dan kehendak, alasannya apabila engkau berangkat dari dunia ini tanpa diperoleh keteguhan hati padamu untuk meninggalkan keharaman maka engkau yakni insan dalam bentuk nya, tetapi tanpa hati. Engkau tidak akan dikumpulkan di alam itu, yaitu alam akhirat, dalam rupa manusia." Sebab, engkau yakni insan dalam lahiriahnya. Adapun, dalam batiniahnya, engkau bukanlah manusia. Engkau tidak akan menjadi hakikat kecuali hewan liar, hewan buas, setan, atau adonan dari bentuk-bentuk ini. "Karena alam itu yakni daerah tersingkapnya yang batin dan munculnya yang tersembunyi." INI firman Allah SWT: Pada hari dikala segala diam-diam ditampakkan.[ QS ath-Thariq [86]: 9] Hakikat-hakikat itu tampak kepada insan sehabis mereka mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, tetapi mereka lalai terhadap akhirat.[QS ar-Rum [30]: 7]
Ketahuilah, "Kelancangan dalam berbuat kemaksiatan membuai seseorang kehilangan keteguhan hati secara perlahan-lahan." Terdapat banyak riwayat yang menegaskan hakikat ini. Ketika seseorang bertanya kepada Imam a.s. wacana diam-diam mengapa ia tidak mendapat taufik untuk menegakkan shalat malam, Imam a.s. menjawabannya, bahwa dosa dosa pada siang hari mencegah seseorang bangkit pada malam hari.[ Ushul al-Kafi, jil. 2, hal. 272, , kitab al-Iman wa al-Kufr, cuilan adz-Dzunub, hadis no. 16.]
Mengherankan jikalau seseorang mengatakan, "Allah tidak memdiberikan taufik kepadaku untuk melaksanakan ini dan itu ..." Apakah Allah SWT tidak mempersembahkan taufik kepada hamba sehabis Dia berfirman: Sesungguhnya Kami sudah menunjukinya ke jalan yang lurus? Atau, apakah orang itu menginginkan taufik atau tidak menginginkannya? Maka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir [QS an-Insan [76]: 3].
Jika seseorang menyibukkan keadaan dan pikirannya sepanjang hari dengan urusan-urusan keduniaan yang hina dan kepentingan-kepentingannya dan tidak menyempatkan diri untuk cara insan berpikir wacana perkara-perkara yang bersifat spiritual yang akan meninggikannya, maka ia tidak sanggup mencegah pikirannya untuk berpikir wacana kemaksiatan. Sebaliknya, ada orang yang menghabiskan harinya dengan berpikir wacana urusan-urusan yang bersifat spiritual yang memperbaiki urusan agama dan dunianya, dan ia selalu mempraktikkan hal itu. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa hati yakni rumah putih dan berpikir wacana kemaksiatan—tanpa melakukannya—adalah asap hitam yang bertahap mengotori rumah putih itu sehingga seseorang terbiasa melaksanakan hal itu. "Barangsiapa berdiri di bersahabat daerah terlarang, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalamnya." Kemakruhan mempunyai balas dan keharaman pun mempunyai balas, dan seseorang harus berjalan berhati-hati di luar batas kemakruhan supaya tidak terjatuh dikala kakinya terpeleset—semoga Allah tidak memperkenankan—ke dalam keharaman, bahkan jatuh ke dalam kemakruhan.
Bagaimanapun, kelancangan untuk berbuat kemaksiatan membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk mendapat keteguhan hati, "dan mutiara yang agung ini terampas darinya," yang ialah keteguhan kehendak, yang dengannya Allah dipilih dan ialah bekal yang paling utama bagi pejalan kepada-Nya.
Ketika seseorang kehilangan keteguhan hatinya, maka sehabis itu, seribu niat yang diniatkannya setiap hari untuk berzakat tidak berkhasiat baginya, alasannya dengan kelancangannya itu ia sudah kehilangan kemampuan untuk mengerjakan perbuatan salih.
Ketika seseorang mencicipi dirinya tidak bisa melaksanakan perbuatan salih maka ia berputus asa dan kehilangan harapan. Akibatnya, ia jatuh ke dalam kebinasaan—naudzu billah.
Kemudian, Imam Khomeini r.a. mengutip salah satu penyebab penting hilangnya keteguhan hati dan kehendak dari gurunya, Syah Abadi r.a. Ia berkata," Guruku yang agung r.a. berkata, 'Kebanyakan penyebab hilangnya keteguhan hati dan kehendak yakni mendengarkan nyanyian," yang diremehkan sebagian orang dan dianggapnya sebagai dosa kecil.
Tag :
Ilmu Ma'rifatullah
0 Komentar untuk "Cara Mencapai Keteguhan Hati Menuju Jalan Allah"