Walaupun seseorang berpikir dan mendapat konklusi atau kesimpulan yang diinginkan, yaitu bahwa darul abadi yakni lebih abadi, lebih awet, dan lebih baik, tetapi ia tidak akan berzakat untuknya kecuali setelah memperoleh keimanan atau keyakinan terhadap hal tersebut.
Realitas ini ialah tabiat insan itu sendiri. Ia tidak akan meletakkan tangan pada api—misalnya—bukan spesialuntuk alasannya ia mengetahui bahwa api itu sanggup membakar, tetapi juga alasannya ia mengetahui dan meyakininya. Jika tidak, anak yang belum pernah merasakan tangannya terbakar akan meletakkan tangannya pada api. Walaupun ia sudah didiberi tahu dan mengetahui bahwa api itu gerah dan sanggup membakar, ia tidak akan menahan diri dari api itu kecuali setelah tangannya terbakar dan ia meyakini hal tersebut.
Banyak dari kita, walaupun sudah berusia 30, 40, atau 50 tahun, masih saja berpikir ibarat anak-anak, tidak berpikir sebagai orang dewasa. Kita tidak mencurigai Al quran dan riwayat-riwayat. Kita juga mengetahui adanya ma'ad atau dunia dan akhirat, tetapi kita tidak mengimani dan meyakini hal tersebut ibarat keyakinan kita bahwa racun itu mematikan. Buktinya yakni kita tidak ingin meminum racun yang mematikan, tetapi setiap hari kita terus saja melaksanakan kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan haram yang jadinya ditimbulkan dari racun di dunia. Dan mereka mengingkarinya alasannya kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini.[ QS an-Naml [8]: 14.]
Berpikir ialah sebuah penlampauan untuk meraih keimanan hati. Apabila keimanan sudah diraih dalam hati seseorang maka ia berpengaruh terhadap organ-organ tubuhnya. Oleh alasannya itu, ia tidak akan menangis alasannya takut kepada Allah SWT, tidak alasannya mengingat peristiwa alam yang menimpa Imam al-Husayn a.s., dan tidak pula alasannya menjerit alasannya sakit kecuali setelah diperoleh keadaan hati ibarat ini pada dirinya. Hal ini ditunjukkan dalam riwayat:
"Sadarkanlah hatimu dengan berpikir," dengan menghidupkan keadaan ini di dalamnya. Jika tidak, seseorang kadang kala menjauh dari Tuhannya selama bertahun-tahun, sementara ia terbiasa diberibadah, tetapi tanpa kesadaran dan tanpa ketundukan dan kekhusyukan hati yang semestinya. Keadaan ibarat itu disebutkan dalam riwayat yang hadir dari Rasulullah saw. ketika ia melihat seseorang memainkan janggutnya ketika ia sedang shalat. Beliau bersabda, "Kalau hatinya khusysuk, tentu khusyuk pula organ tubuhnya.[ Da'a'im al-Islam, 1: 174.]" Seperti inilah keadaan kebanyakan kita. Tiadalah musibah, masalah, dan kesusahan melainkan kita mengingatnya di dalam shalat kita, alasannya di dalam shalat ini terdapat segala sesuatu kecuali zikir kepada Allah SWT. Padahal, Allah SWT berfirman: Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku [QS Tha Ha[20]: 14.]." Mengingat hal ini dan hal-hal lainnya, "Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun.[Nür al-Rarahin, Ni'mah Allah at-Jaza'iri, Mu'assasah an-Nasyr al-Isläm, Qum, 1417, 1]"
Klasifikasi Berpikir
Sesudah klarifikasi ini, dilihat dari hasilnya, berpikir diklasifikasikan ke dlalam dua kelompok.
Pertama, berpikir alasannya peniruan atau taklid. Berpikir ibarat ini kadang kala hilang alasannya "barangsiapa mengambil agamanya dari lisan orang-orang, maka orang-orang itu pula yang menghilangkannya.[Al-Mukhtashar, karya al-Hasan bin Sulaymän al-Hilll, hal. 3.]"
Kedua, berpikir yang dilakukan di atas landasan budi yang benar dan argumentasi yang sahih. Al-Faydh al-Kasyam sudah menyampaikan hasil-hasil dari berpikir ibarat ini. Ia menyampaikan bahwa: hasil dari berpikir yakni pengetahuan, keadaan, dan perbuatan. Namun, hasilnya yang khusus yakni ilmu atau pengetahuan, tiada lain. Benar, kalau pengetahuan diperoleh di dalam hati, maka keadaan hati itu akan berubah. Apabila hati berubah, maka pekerjaan organ-organ badan pun berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan mengikuti pengetahuan, dan pengetahuan mengikuti pikiran. Jadi, pikiran ialah sumber dan kunci segala kebaikan. INI yang menampakkan kepada Anda keutamaan berpikir.
Berpikir lebih baik dari zikir tadzakkur, alasannya di dalam berpikir terdapat zikir dan tambahannya. Zikir hati lebih baik daripada perbuatan organ tubuh. Bahkan, kemuliaan perbuatan bergantung pada zikir yang ada di dalamnya. Jadi, berpikir lebih utama daripada sejumlah perbuatan. Oleh alasannya itu, dikatakan bahwa berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah setahun. Ada pula yang menyampaikan bahwa berpikirlah yang mengubah kebencian menjadi kecintaan, ambisi dan kerakusan menjadi kezuhudan dan qanaah. Dikatakan pula bahwa berpikirlah yang memperbarui kesaksian dan ketakwaan. Oleh alasannya itu, Allah SWT berfirman: Agar mereka bertakwa atau [agar] Al quran mempersembahkan pengajaran bagi mereka.[ QS Tha Ha [20]: 113, Al-Mahajjah al-Baydha, karya al-Faydh al-Kasyani, jil 8. hal 198],
Tag :
Ilmu Keseharian
0 Komentar untuk "Berpikir Merupakan Syarat Diraihnya Keimanan"