Melawan Kecintaan Dunia Dengan Tafakur

Ketahuilah, syarat pertama dalam melawan nafs atau kecintaan pada dunia dan berjalan menuju al Haqq yaitu tafakur. Sebagian ulama watak sudah meletakkannya pada permulaan tingkatan kelima. Penyusunan ini pun benar pada tempatnya." Tafakur, yang dengannya Imam al-Khuamyni r.a. memulai em­pat fase dalam tingakatan hidayat yang sudah kami katakan sebelum ini, dilampaukan alasannya yaitu ia mempunyai sepuluh maqam, manzilah, dan marhalah. Empat fase tersebut yaitu sebagai diberikut.

Pertama, berdiri (yaqzhah), yaitu fase kebebasan dari kelalaian. Di dalam riwayat disebutkan, "Manusia sedang pulas. Apabila mereka mati, mereka terbangun."[ Ibid, 4: 73/48] Sebab, tamat hidup membangunkan insan dari kelalaian. Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari [hal] ini. Maka, Kami akan singkapkan daripadamu tutup [yang menutupi] malumu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam .[ QS Qaf [50]: 22. ]

Manusia harus mematikan dirinya sebelum kematian, yang tidak ada daerah melarikan diri darinya, menimpanya. "Matilah sebelum kalian mati.[ Al-Bihar, 72: 59]". Hal itu yaitu dengan mematikan syahwat di dalam dirinya dengan menjadikannya bera­da di bawah perintah syariat dan akal. Apabila ia sudah melaksanakan hal itu dan berdiri dari kelalaiannya, maka ia memasuki benteng zikir kepa­da Allah dan tenteram karenanya. Ketahuilah, dengan berzikir hati men­jadi tenteram. Ia kondusif dari [gangguan] setan, baik dari golongan jin maupun golongan manusia. Bahkan, di dalam beberapa riwayat dise­butkan bahwa hewan tidak diburu kecuali apabila sedang lalai dari berzikir kepada Allah SWT, apalagi manusia.

Tidak terbayang dalam benak siapapun bahwa zikir yang kami maksudkan di sini yaitu zikir verbal saja, walaupun hal itu ialah satu tingkatan dari tingkatan-tinggkatan tersebut. Akan tetapi, zikir itu harus dengan hati juga biar menjadi zikir kepada Allah SWT sehing­ga diraih berdiri yang didambakan.

Kedua, pertobatan (taubah), yaitu tingkatan kedua yang dicapai sese­orang setelah kebangunannya. Pertobatan yang kami maksudkan yaitu kembali dari penyimpangan menuju kesesuaian, dan penyimpangan terhadap Allah SWT ke kesesuaian terhadap-Nya. Ketiga, penilaian diri (muhasabah), yaitu stasiun diberikutnya setelah stasiun pertobatan, di mana seseorang mengevaluasi dirinya terhadap hal-hal yang muncul darinya. melaluiataubersamaini begitu, ia berkemas-kemas menuju stasiun kembali (inabah).

Keempat, kembali (inabah), yaitu setelah seseorang mengevaluasi diri­nya, ia beralih ke stasiun inabah. Perbedaannya dengan stasiun pertoba­tan yaitu dengan pertobatannya seseorang kembali dari penyimpangan menuju kesesuaian, sedangkan dengan inabah ia kembali dari kesesuaian kepada Allah SWT sepertiyang 'Isa bin Maryam sudah berkata kepada para pengikut setianya, "Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk menegakkan agama Allah?” Para pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong penolong agama Allah. [QS ash-Shaff [61]: 14.]”

Pentingnya Tafakur

Terdapat sejumlah riwayat yang menandakan pentingnya tafakur. Di antaranya yaitu sebagai diberikut.

Pertama, diriwayatkan dari 'Atha: Aku dan 'Ubayd bin 'Umayr pergi kepada A'isyah, sementara di antara kami dan dia terdapat hijab/batas ... (dan seterusnya) hingga ia berkata: Ibn 'Umayr berkata, "Beritahukanlah kepadaku sesuatu menakjubkan yang Anda lihat dari Rasulullah saw." A'isyah pun menangis, kemudian berkata, "Seluruh ihwalnya menakjub­kan. Pada suatu malam, ia menhadiriku ..." (dan seterusnya) hingga riwayat itu sebut: Rasulullah saw bersabda, "Biarkanlah saya diberibadah kepada Tuhanku 'Azza wa  Jalla." Beliau menhadiri daerah air, kemudian berwudhu dengan air itu. Kemudian, dia menegakkan shalat, kemudian menangis sehingga janggutnya basah. Beliau bersujud hingga tanah di bawah daerah sujudnya basah. Beliau berbaring di atas sisi badannya hingga Bilal hadir untuk mengumandangkan azan shalat subuh. Bilal bertanya, "Wahai Rasulullah, apa gerangan yang membuat Anda mena­ngis, padahal Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda yang sudah ber­lalu dan yang akan hadir?" Beliau menjawaban, "Celakalah engkau, hai Bilal. Apa yang mencegahku menangis, sementara pada malam ini Allah lelah menurunkan kepadaku ayat: Sesungguhnya di dalam penciptaan la­ngit dan bumi, serta pergiliran malam dan siang sungguh terdapat gejala kebemasukan Allah bagi orang-orang yang berpikir.[ QS Ali 'Imran [3]: 19, Al-Mahajjah al-Baydhd', karya al-Faydh al-Kasyanl, jil. 8, hal. 194],

Kedua, diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s.: "Berpikir meng­ajak pada kebaikan dan pengamalannya.[ Ibid.]"

Ketiga, diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s.: "Bangunkanlah hatimu dengan tafakur, jauhlah dari daerah pulasmu pada malam hari, dan bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu.[ Ibid.]

Hakikat Tafakur dan Tatacara Melakukannya 

Apabila seseorang ingin bertafakur; ia harus mempunyai modal pengetahuan yang menjadi sandaran dalam tafakurnya. Sebab, ia membutuhkannya menyerupai kebutuhan pedagang terhadap modal niaga biar ia dapal menjalankan pekerjaannya di pasar.

sepertiyang banyak orang yang mempunyai modal niaga, tetapi tidak berdagang, demikian pula, banyak orang yang mempunyai modal pengetahuan tetapi tidak memanfaatkannya. Dalam hal ini, hadir dorongan untuk bertafakur, klarifikasi ihwal kepentingannya, dan kebutuhan seseorang terhadapnya.

Bagaimana seseorang sanggup bertafakur dengan cara yang benar dan membuahkan hasil dengan mengunakan penge­tahuan yang dimilikinya? Hal ini akan kami sampaikan pada goresan pena diberikutnya.
0 Komentar untuk "Melawan Kecintaan Dunia Dengan Tafakur"

Back To Top