Keteguhan Hati Dan Bersahabat Kepada Allah

Terdapat maqam lain yang akan dihadapi insan mujahid" yang ber­jihad dengan jihad besar "sesudah berpikir (tafkir), yaitu maqam kete­guhan hati (al-'azm). Ini bukan sekadar harapan (iradah), yang dipan­dang oleh Syaikh ar-Ra'is, dalam al-Isyarat, sebagai tingkatan pertama para arif" dalam pembahasannya wacana maqam-maqam para pintar da­lam belahan kesembilan, juz 3, kitab al-Isyarat. 

"Salah seorang guru—semoga Allah memanjangkan umur­nya—berkata,'Al-Azm yakni substansi kemanusiaan dan kriteria ke­istimewaan manusia. Perbedaan tingkatan insan yakni menurut perbedaan tingkatan keteguhan hatinya.'" Barangkali, orang yang me­ngatakan demikian yakni guru Imam Khomeini r.a., yaitu Syaikh asy-Syah Abadi r.a. 

Bagaimanapun, sebelum memahami apa keteguhan hati (al-‘azm) itu, kita membutuhkan sebuah penlampauan. melaluiataubersamaini demikian, kami katakan: 

Apa kekerabatan antara insan dan Allah SWT? Apakah Allah bersahabat kepada insan atau jauh? Apakah insan bersahabat kepada Allah atau jauh? 

Al quran sudah mempersembahkan jawabanan terhadap pertanyaan khusus ini, yaitu bahwa Allah SWT bersahabat kepada manusia. Allah SWT berfirman: kalau hamba-Ku bertanya kepadamu wacana Aku, maka bergotong-royong Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa, apabila ia berdoa kepada-Ku. [QS al-Baqarah [2]: 186] Bahkan lebih dari itu: Dan Kami lebih bersahabat kepadanya daripada urat leher [QS Qaf [50]: 16.]. Bahkan lebih tinggi dari itu: Sesungguhnya Allah yang memisahkan antara seseorang dan hatinya. [QS al-Anfal [8]: 24.] Padahal seseorang dan hatinya yakni satu, bu­kan dua benda yang terpisah. melaluiataubersamaini demikian, Allah SWT lebih de­kat kepada insan daripada dirinya sendiri. Sesudah ini, tidak ada lagi yang lebih bersahabat kepadanya selain Allah SWT.

Jawaban kedua, insan pun bersahabat kepada Allah SWT. Sebab, tidak masuk nalar kalau dia jauh dari Allah, padahal Dia berfirman: Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.[ QS al-Hadid [57]: 4.] Namun, insan lalai kepada Allah SWT, bukan alasannya yakni ia jauh dari-Nya. Hal ini alasannya yakni kelalaian ma­nusia kepada mitra duduknya sehingga tidak melihat dan merasakan­nya, padahal Dia bersahabat kepadanya. Jadi, kesusahan insan yakni da­lam kelalaiannya. Dulu, saya lalai terhadap hal ini. Sebab, alam abadi yakni batin dunia, dan akhir yakni batin perbuatan. Namun, kita tidak melihat hal itu kecuali setelah kita beranjak dari kelalaian menuju diri kita sendiri. Oleh alasannya yakni itu, mereka mengatakan, "Kematian yakni kembalinya insan ke dirinya sendiri dan terputusnya insan dari selain Allah." melaluiataubersamaini maut itu, insan berdiri dari kelalaian. Maka Kami singkapkan tutup darimu sehingga pada hari itu penglihatanmu amat tajam [QS Qaf [5]: 22.]. 

Berdasarkan hal ini, "tingkatan kelalaian dan ingat atau zikir" meru­pakan landasan perbedaan insan dalam hal kedekatan dan kejauhannya dari Allah SWT. 

Setiap kali seseorang bertambah kelalaiannya maka ia semakin jauh dari Allah SWT bukan alasannya yakni Allah SWI jauh darinya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. [QS al-Hadid [57]: 4] Karena Allah SWT yakni Kesempurnaan Mutlak, maka jauhnya insan dari-Nya berarti jauhnya ia dati Kesempurnaan Mutlak. 

Setiap kali seseorang bertambah ingat kepada Allah, maka dia semakin bersahabat kepada-Nya. Oleh alasannya yakni itu, ingatilah Aku maka Aku akan mengingat kalian [QS. Al-Baqarah [2]: 152]. Sehingga hadir dorongan untuk berzikir dalam bentuk yang tidak terdapat dalam ibadah-ibadah lainnya, yang dibatasi de­ngan syarat-syarat dan batasan waktu, tempat, dan sebagainya. Hal itu kadang kala berupa kewajiban, tetapi pada waktu yang lain berupa anjuran; pada suatu waktu diharamkan dan pada waktu yang lain dimakruhkan. 

Tentang zikir itu, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang diberiman, ingatlah Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya [QS al-Ahzab [33]: 41.] tanpa batasan dan syarat. melaluiataubersamaini demikian, zikir lebih baik dalam keadaan apapun, alasannya yakni pezikir kepada Allah SWT tidak mempersembahkan celah kepada iblis untuk memasukinya. Apa yang disebutkan di dalam bebera­pa riwayat, bahwa burung tidak dimangsa kecuali kalau sedang lalai dari berzikir kepada Allah SWT menyampaikan bahwa insan tidak dimang­sa dan tidak jatuh ke dalam jerat iblis terkutuk kecuali kalau ia lalai ke­pada Allah SWT. Ketakutan akan jatuh ke dalam kelalaian tidak meng­halangi seseorang dari berzikir kapan dan di manapun. 

Oleh alasannya yakni itu, kita yakin bahwa Nabi saw. selalu mengingat Allah dalam keadaan terjaga dan pulasnya, alasannya yakni ia yakni eksistensi pezikir kepada Allah SWT. 

Jadi, ringkasan dari jawabanan ini yakni bahwa setiap kali insan lalai kepada Allah SWT maka ia jauh dari-Nya. Sebaliknya, setiap kali ia ingat kepada-Nya maka ia bersahabat kepada-Nya. Yang memilih tingkat kedekatan dan kejauhannya yakni kadar zikir dan kelalaiannya.
0 Komentar untuk "Keteguhan Hati Dan Bersahabat Kepada Allah"

Back To Top