Bermaian Bagi Anak Dalam Tabiat Islam

Bermian bagi anak ialah satu kebutuhan. Bagaimana anjuran, instruksi dan fatwa islam terkena pentingnya bermain dan permainan yang diperbolehkan bagi anak dengan syarat, hukum dan batas-batas yang sudah ditentukan oleh syari'at Allah dalam susila dan fatwa Islam?

Islam ialah agama realita dan kehidupan yang memperlaku­kan para pemeluknya sebagai insan yang mempunyai kerinduan hati, spiritual, dan watak kemanusiaan. Islam tidak memaksakan kepada insan supaya setiap perkataannya ialah dzikir, setiap kebisuannya ialah tafakur, setiap pemikirannya ialah pelajaran, dan setiap kekosongannya ialah ibadah. Tetapi Islam mengakui tuntutan naluri kemanusiaan, kegembiraan dengan bermain, bercanda dan bergurau, dengan syarat masih pada batas-batas yang sudah ditentukan oleh syari'at Allah dan berada dalam ling­kup susila Islam.

Keluhuran rohani sebagian teman akrab Rasulullah saw. sudah mencapai tingkat dugaan bahwa diberibadat terus menerus, muraqabah terus menerus kepada Allah sanggup dilaksanakan jikalau tiruana­nya dijadikan sebagai kebiasaan. Mereka harus mencampakkan kesenangan dunia dan segala yang baik di dunia, sehingga dilarang bergembira, dilarang bermain dan dilarang bercanda. Bahkan mereka menduga bahwa segenap waktu dan kekosongan mereka harus dipakai untuk pekerjaan dan yang tidak ber­lebihan, atau tidak menerima penggalan dunia mereka !

Berikut ini ialah beberapa Hadits Nabi yang menerangkan wacana pentingnya bermain bagi anak dalam mendidik anak.

Dengarlah hadits Hanzhalah Al-Asidiy ra. yang diriwayat­kan oleh Muslim wacana apa yang terjadi dengan dirinya:

Abu Bakar menemuiku, dan bertanya, "Apa kabarmu, wahai Hanzhalah?". "Hanzhalah sudah munafik", kataku. "Subhanallah, apa yang engkau katakan?", Abu Bakar terkejut. Hanzhalah berkata, "Kami bersama Rasulullah saw., dia mengingatkan kami perihal neraka dan perihal surga, sehingga kami seakan-akan melihatnya dengan mata kepala kami. Ketika kami keluar meninggalkan Rasulullah saw., kami bermain dengan istri dan bawah umur kami, maka kami lupa dengan apa yang saya dengar dari Rasulullah saw. tadi!" Abu Bakar, "Demi Allah, bahwasanya kami juga pernah melaksanakan hal menyerupai itu!" Hanzhalah, "Kemudian saya bersama Abu Bakar pergi menemui Rasulullah saw."

Aku berkata, "Hanzhalah sudah munafik, wahai Rasulullah". "Apa yang terjadi?", tanya Rasulullah saw.

"Wahai Rasulullah, kami tadi bersamamu, di mana engkau meng­ingatkan kami wacana neraka dan surga, sehingga kami seakan-akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Maka, ketika kami keluar meninggalkanmu, kami bermain-main dengan istri dan anak cucu kami, dan kami melupakan banyak hal (yang kami dengar darimu)", kataku.

Rasulullah saw. bersabda, "Demi Dzat yang melindungiku, se­sungguhnya jikalau kalian terus menerus bersikap menyerupai keadaan kalian bersamaku, dan selamanya dalam dzikir, pasti para Malaikat akan menyalamimu di atas kasurmu dan di jalan-jalan­mu. Tetapi wahai Hanzhalah, satu ketika dan satu saat".

Rasulullah saw. mengulang kata-kata "satu ketika dan satu saat", sebanyak tiga kali.

Pada akhirnya, kita melihat bagaimana Rasulullah saw. menyetujui Hanzhalah dan Abu Bakar untuk bermain (bercanda) dengan istri dan anak-anaknya, untuk berkasih akung dan meng­gembirakan mereka, sebab perbuatan menyerupai itu sesuai dengan pembawaan manusia.

Dalam mempersiapkan jasmani dan tes jihad, Islam mensyari'atkan beberapa tata cara yang menawarkan kepada siapa saja yang mempunyai nalar dan pandangan sehat, bahwa Islam ialah agama realita yang menyetujui bagi pemeluknya untuk bermain yang dibolehkan dan bercanda yang mubah, selama dalam maslahat Islam, selama dalam batas keramahtamahan bersama keluarganya, anak dan istri.

Beberapa cara bermain tersebut ialah menyerupai yang diriwayatkan Ath-Thabrani dengan sanad jayyid dari Rasulullah saw. bahwa dia bersabda:

كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اﷲِ فَهُوَ لَهُمْ أَوْ سَهْوٌ إِلاََّ اَرْبَعَ خِصَالٍ شَيْءُ الرَّجُل بَيْنَ الْغَرْضَيْنِ ﴿لِلرَّفِيْ ﴾٬ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسَهِ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلَهِ ٬ وَتَعْلِيْمُهِ السِّبَاحَةَ ٠

"Segala sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya dzikir (ingat) kepada Allah, maka itu ialah permainan yang melalaikan kecuali empat perkara: Berjalanlah seseorang antara dua tujuan (untuk memanah), latihan menunggang kuda, mencumbu istrinya dan mengajar (belajar) renang".

Jika permainan yang membersihkan, hiburan yang dibolehkan, per­siapan jasmani dan olahraga termasuk keharusan bagi setiap Muslim, maka keharusan itu terlebih bagi Muslim ketika ia masih kecil [anak], sebab dua hal:
Pertama : Kemungkinan anak untuk berguru di waktu kecil lebih besar daripada ketika dewasa. Sehingga dikatakan dalam hadits:

الْعِلْمُ فِى الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ فِى الْحَجَرِ ٠

"Belajar di waktu kecil menyerupai lukisan di atas batu”. (H.R. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).

Kedua : Karena kebutuhan anak kepada permainan dan hiburan di waktu kecil, ialah lebih banyak dan besar dibanding ketika ia sudah dewasa. Seperti dikatakan dalam hadits:

عُرَامَةُ الصَّبِيِّ فِى صِغَرِهِ زِيَادَةٌ فِى عَقْلِهِ فِى كِبَرِهِ٠

"Anak yang energik ketika kecilnya ialah mengambarkan ia akan menjadi orang yang cerdas ketika dewasa". (H.R. at-Tirmidzi dalam hadits yang jarang).

Kita dengarkan apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam Ihya'-nya wacana hal bermain bagi anak:

"Sesudah bawah umur menuntaskan kiprah belajarnya, hendaklah mereka didiberi peluang untuk bermain-main dengan permainan yang bagus, melepas lelahnya dari kecapaian sekolah. Permainannya itu tidak memayahkan dirinya, sebab melarang anka-anak bermain dan terus menerus memaksa mereka berguru akan mematikan hatinya, melemahkan kecerdasannya, menyempitkan hidupnya. Sehingga, bisa-bisa ia pribadi mencari alasan untuk menghindari, kehidupan."

Al-Abdari beropini sama dengan Al-Ghazali wacana pentingnya bermain dan bersenang hati bagi bawah umur setelah berguru atau menuntaskan suatu pekerjaan.

Kita sudah mengetahui bersama bahwa faedah bermain ini ialah untuk menghilangkan apa yang dirasakan anak, yakni kejemuan dan kepayahan, memperbaharui semangat dan kejer­nihan otaknya, melatih otot-otot jasmani sehingga tidak simpel terkena suatu penyakit dan bencana.

Dua hal yang menjadi perhatian ketika anak bermain

Pertama: Bermain hendaknya tidak menimbulkan kecapaian yang berlebihan (menambah capai), dan kesusahan yang menyakit­kan. Sebab, dalam hal menyerupai itu terdapat ancaman bagi fisik dan melemahkan jasmani. Sedang Rasulullah saw. bersabda:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ٠

"Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan dilarang membahayakan (orang lain).” (H. R. Imam Malik dan Ibnu Majah).

Kedua : Bermain hendaknya tidak hingga melupakan kewa­jiban lain hingga tidak mengerjakannya. Sebab, yang demikian itu ialah pemmembuangan waktu dan membunuh peluang. Padahal Rasulullah bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَايَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاﷲِ وَلاَ تَعْجَزْ٠

"Bersemangatlah dalam mengerjakan yang menhadirkan manfaat bagimu, dan mintalah pemberian kepada Allah, dan tidakbolehlah engkau berjiwa lemah ..." (H.R. Muslim).

Demikianlah hadits-hadits yang menganjurkan untuk mempersembahkan peluang anak untuk bermain dalam mendidik anak. Sebuah gagasan yang cerdas dalam mendidika anak.
0 Komentar untuk "Bermaian Bagi Anak Dalam Tabiat Islam"

Back To Top