Menghukum setiap sesuatu harus berdasarkan keadaannya.
Jika ia tidak memenuhi syarat dan yang sebagiannya dengan pengkhianatan, dan hal itu ialah pengkhianatan terhadap syarat, yaitu perbuatan tangan maka sanksi (muaqabah) itu harus yang berkaitan dengannya. Apabila pengkhianatan itu berkaitan dengan masakan dan minuman, maka nafs-nya harus dieksekusi dengan sanksi yang berkaitan dengan keduanya, yaitu ia dicegah dari makan dan minum. Demikianlah sampai bila syarat itu berkaitan dengan suatu perbuatan mustahab [sunnah], menyerupai syaratnya terhadap nafs-nya biar melaksanakan shalat malam. Jika nafs tidak memenuhi syarat itu, maka ia harus dieksekusi dengan memperlama keterjagaannya pada beberapa malam dan mencegah ketenangan baginya sampai ia terbiasa melaksanakan perbuatan mustahabb tersebut yang disyaratkan kepadanya.
Hal ini ditunjukkan al-Faydh al-Kasyani r.a. dalam ucapannya: "Betapapun ia mengevaluasi atau menghisab nafs-nya, maka tidak ada jaminan bahwa nafs tidak akan melaksanakan syahwat nafs, maka sebaiknya ia menghukum perut dengan lapar. Apabila ia memandang bukan muhrim, maka sebaiknya ia menghukum mata dengan mencegahnya dari memandang. Demikianlah, ia menghukum setiap organ tubuhnya dengan mencegahnya dari syahwatnya. Itulah kebiasaan para penempuh jalan akhirat.[ Ibid., hal. 168.]"
Hukuman Dilakukan Sesuai dengan Neraca Syariat
Tidak terbayang dalam pikiran seseorang bahwa ia bisa menghukum nafs-nya dengan bentuk sanksi apa pun yang dipilihnya. Akan tetapi, sanksi itu harus dilakukan berdasarkan neraca-neraca syariat yang ditetapkan syariat yang kudus. Al-Faydh al-Kasyani r.a. mengetengahkan sebuah dongeng wacana insiden yang terjadi di zaman Rasulullah saw. yang berkenaan dengan pengertian ini.
Diriwayatkan dari Thalhah: Pada suatu hari, seseorang pergi. Ia melepaskan pakaian dan berguling-guling di tanah yang sangat gerah, Ia berkata pada dirinya, "Rasakanlah, siksaan neraka Jahanam lebih gerah lagi. Apakah bangkai di malam hari ialah jagoan di siang hari?" Sementara ia melaksanakan tindakan tersebut, tiba-tiba ia melihat Nabi saw. sedang berteduh di bawah pohon. Lalu , ia menhadiri ia dan berkata, "Nafs-ku sudah mengalahkanku." Nabi saw. bersabda, "Bukankah tidak semestinya engkau melaksanakan tindakan tadi? Pintu-pintu langit sudah dibuka untukmu dan Allah membanggakanmu di hadapan para malaikat." Kemudian, ia berkata kepada para sobat dekatnya, "Ambillah bekal untuk saudara kalian!" Lalu, orang itu berkata kepada beliau, "Wahai fulan, doakanlah aku. Wahai fulan, doakanlah aku." Nabi saw, menjawaban, "Aminilah mereka." Beliau berdoa, "Ya Allah, jadikanlah ketakwaan sebagai bekal mereka dan himpunkanlah urusan mereka di atas ketakwaan." Selanjutnya, ia berdoa, "Ya Allah, tunjukkanlah dia ke jalan yang benar." Orang itu berkata, "Ya Allah, jadikanlah nirwana sebagai daerah kembali mereka.[ Ibid, hal. 168]"
Tag :
Ilmu Syari'at
0 Komentar untuk "Hukuman Sesuai Dengan Keadaan Dan Syariat"