Cara Berjualan & Mencari Nafkah Yang Dilarang

Sebelum Nabi Muhammad saw. diutus, masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah sudah mengenal majemuk cara jual beli, kegiatan finansial dan pertukaran perniagaan. Maka, Rasulul­lah saw. memutuskan cara-cara yang tidak berperihalan dengan syari'at Islam dan dengan nash-nash yang dibawanya. Beliau me­larang cara-cara yang membahayakan kemaslahatan individu dan masyarakat, di samping mengakibatkan kerusakan dan me­ninggalkan dampak yang sangat hina.

Berikut ini hal-hal terpenting dalam mencari penghidupan (takassub), menyerupai sudah diputuskan dalam syari'at Islam:

1). Menjual segala sesuatu yang diharamkan. Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia ber­sabda:

إِنَّ اﷲَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ ٠

"Sesungguhnya jikalau Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harga (hasil penjualan) nya".

Berdasarkan ini, maka menjual khamr atau minuman yang memabukkan, patung makhluk bernyawa, babi, alat musik dengan segala macamnya, salib, kartu undian, kartu judi, tiruananya yaitu haram dalam Islam.

Hikmah diharamkannya yaitu sebagai upaya menghindari hal-hal tersebut, dan menjauhkan orang-orang dari mu'amalah dengan benda itu. Juga untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman kesehatan jasmani dan ruhani yang mengancam stabilitas sosial dan keluhuran moral.

2). Menjual barang yang tidak sanggup dipegang atau diraba, menyerupai menjual ikan dalam air yang tidak kelihatan, menjual burung yang sedang terbang. Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, Ahmad dan Ashhabu 's-Sunan, dari Abu Hurairah:

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ׃ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ٬ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ٠

"Bahwa Rasulullah saw. melarang transaksi jual beli lempar watu (yang terlempar itulah yang terjual dan terbeli), dan transaksi jual beli yang mengandung unsur ghurur (tipuan)".

Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

لاَ تَشْتَرُوْا السَّمَكَ بِالْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ٠

"Janganlah kalian membeli ikan yang berada didalam air".

Penjualan menyerupai ini tidak boleh lantaran tidak tentu macam dan banyak barang yang hendak dijual. Bahkan belum tentu si pem­beli akan mendapatkan barang sesuai dengan uang yang dikeluar­kan. Sehingga, tidak tidak mungkin akan menjadikan pertengkaran dan permusuhan antara pembeli dan penjual. Juga sangat berba­haya bagi kemaslahatan ekonomi lantaran adanya ketidakjelasan dan ketidakadaar kepercayaan antara mereka.

3). Menjual menurut menipu dan mempermainkan harga. Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sabda Rasulullah saw.:

لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ٠

"Tidak membahayakan (untuk diri sendiri) dan tidak mem­bahayakan (orang lain).

Islam, intinya menyayangi kebebasan dalam transaksi komersial biar kehidupan ekonomi berjalan sebaik-baiknya sesuai dengan konsumsi yang dibutuhkan, di samping sebagai penye­garan bagi pasar ekonomi di lapangan kehidupan komersial. Untuk menjaga kebebasan ini, maka ketika harga naik pada za­man Rasulullah saw. dan orang-orang berkata, "Ya Rasulullah, tetapkanlah harga buat kami!" Beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah-lah yang memilih harga, Yang Menahan, Yang Pemurah, Yang Memdiberi rizki. Dan sesungguhnya saya mengharap menemui Allah dan tidak seorang pun dari kalian menuntut kezhalimanku dalam hal darah dan harta". (H.R. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya).

Tetapi, jikalau di dalam pasar terdapat faktor-faktor yang di­buat-buat, menyerupai menimbun barang kebutuhan pokok, memper­mainkan harga, dan terdesak oleh situasi tertentu, maka 'pene­tapan harga' (tas'ir) diperbolehkan sebagai perjuangan memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan menjaga secara umum dikuasai umat dari para penimbun dan orang-orang monopoli. Seperti sudah diputuskan oleh kaidah ushul syari'ah yang umum "Mening­galkan kerusakan harus dilampaukan daripada mengambil kemaslahatani". Juga Kaidah "Tidak berbahaya dan tidak membahaya­kan".

Para jago fiqh Hanafiah menetapkan: Jika para pedagang makanan-minuman sebagai dagangannya di pasar, dan mereka melewati batas dalam memutuskan harga, dan pihak yang berwajib tidak sanggup menjaga hak-hak kaum Muslimin, kecuali dengan memilih harga, maka pada situasi menyerupai itu penentuan harga dibolehkan dengan terlebih lampau dimusyawarahkan dengan para jago aturan dan cendikiawan Muslim" (Dinukil dari Hidayah dalam fiqh Hanafi).

4). Menjual menurut menimbun (monopoli).

Ahmad, Hakim dan Abu Syaibah meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia berkata:

مَنِ احْتَكَرَ الطَّعَامَ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً فَقَدْ بَرِىءَ مِنَ اﷲِ وَبَرِىءَ اﷲُ مِنْهُ٠

"Barang siapa yang menimbun kuliner selama empat puluh hari, maka ia sudah lepas dari Allah, dan Allah lepas daripada­nya".

Dan Muslim meriwayatkan:

لاَيَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ ٠

"Tidak menimbun kecuali yang salah".

Salah di sini berarti dosa. Kata-kata khathi berarti dosa, menyerupai dalam firman Allah:

إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُوْدَهُمَا كَانُوْا خَاطِئِيْنَ ٠

"Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya yaitu orang-orang yang bersalah (yaitu berdosa)"

Ibnu Majah dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ٠

"Orang-orang yang tidak menimbun akan didiberi rizki', dan orang yang menimbun dilaknat".

Yang dimaksud dengan menimbun, yaitu seorang peda­gang menyembunyikan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, lalu dikeluarkan pada ketika harga tinggi (pada situasi yang sesuai), menyerupai materi pangan pada umumnya.

Mirip dengan menimbun yaitu penjualan orang (penduduk) kota untuk barang yang dibawa oleh orang dusun. Muslim meri­wayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia bersabda:

لاَيَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ ٬ دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضِ٠

"Tidaklah sah penjualan penduduk kota untuk penduduk dusun, biarkanlah orang-orang mencari rizki masing-masing (saling memdiberi rizki antara sesama mereka)"

Gambaran penjualan ini adalah: Seseorang penduduk dusun membawa barang untuk menutupi kebutuhannya, dengan harga yang sudah ia tetapkan. Lalu hadir seorang penduduk kota — sebelum orang dusun tersebut hingga ke pasar — dan berkata kepadanya, "Biarkan barang-barangmu itu saya bawa, secara perlahan akan saya jualkan dengan harga yang tinggi". Jika orang dusun tersebut menjual barangnya sendiri, maka harganya lebih murah, sehingga penduduk kota sanggup mengambil manfaat dari harga yang murah itu. Demikian pula orang dusun, meski dengan harga yang murah, tetapi ia dengan cepat mendapatkan hasil pen­jualannya.

5). Menjual dengan cara menipu.

Muslim meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia lewat kepada seseorang yang sedang menjual kuliner (dari biji-bijian) dan menarikdanunik perhatiannya. Beliau memasukkan tangannya ke tumpukan biji-bijian tersebut, dan dia mendapatkan di dalamnya ternyata basah. Beliau bertanya: "Apa yang berair ini, wahai penjual makanan?" Sang penjual menjawaban, "Terkena hujan". Maka Rasulullah saw. ber­sabda, "Kenapa engkau tidak menyimpannya di kepingan atas, sehing­ga orang-orang sanggup melihatnya. Barang siapa yang menipu (curang), maka bukan dari golongan kami!"

Yang dimaksud dengan menipu di sini yaitu menampakkan sesuatu yang berperihalan dengan kenyataannya, tanpa dike­tahui oleh pembeli:

Al-Hakim dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia bersabda:

لاَيَحِلُّ لأَحَدٍ يَبِيْعُ بَيْعًا إِلاَّ بَيَّنَ مَافِيْهِ ٬ وَلاَ يَحِلُّ لِمَنْ يَعْلَمُ ذَلِكَ إِلاَّ بَيَّنَهُ٠

"Tidaklah halal bagi seseorang menjual sesuatu kecuali terang keadaan barang yang dijualnya itu, dan tidak halal bagi orang yang mengetahuinya (mengetahui hakekat sebenarnya, baik buruknya) kecuali ia menerangkannya".

Dosanya akan berlipat ganda jikalau menipu itu diperkuat dengan sumpah dusta. Rasulullah saw. sudah melarang para pe­dagang banyak bersumpah pada umumnya, lebih-lebih sumpah dusta. Al-Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia bersabda:   

اَلْحَلَفُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْبَرَكَةِ٠

"Sumpah melariskan barang dagangan akan menghapus ba­rakah

Lebih-lebih ia yakin bahwa sumpahnya itu yaitu dusta. Berarti, ia sudah bersumpah tiruan yang ganjarannya yaitu teng­gelamkan ke dalam neraka; dan kafarat satu-satunya yaitu taubat nasuha.

Rasulullah saw. melarang banyak bersumpah — meski sum­pahnya benar — lantaran perbuatan tersebut sanggup menimbulkan ketidakpercayaan di antara orang-orang yang berjual beli, dan juga mengakibatkan hilangnya pengagungan nama Allah Ta'ala dari hati.

Dari jenis penipuan yaitu dengan mengurangi dosis dan timbangan, sebagaimana difirmankan Allah:

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila mendapatkan dosis dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) insan berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (Q.S. 83:1-6)

Al-Qur'an juga mengisahkan kepada kita terkena diberita suatu bangsa yang absolut dalam perniagaan. Mereka menyeleweng dalam menakar dan menimbang, bahkan merugikan hak-hak orang lain. Maka, Allah mengutus Rasul yang memperi­ngatkan dan mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Mereka yaitu kaum Syu'aib, yang diserukan kepada mereka:

Sempurnakanlah dosis dan tidakbolehlah engkau termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan tidakbolehlah engkau merugikan insan pada hak-haknya dan tidakbolehlah engkau merajalela di muka bumi dengan mem­buat kerusakan. (Q.S. 26:181-183).

6). Jual beli barang curian dan barang rampasan. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa dia bersabda:

مَنِ اشْتَرَى سِرْقَةً ﴿أَيْ مَسْرُوْقًا﴾ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهَا سِرْقَةً فَقَدِ اشْتَرَكَ فِى إِثْمِهَا وَعَارِهَا٠

"Barang siapa membeli barang curian dari hasil mencuri dan ia tahu bahwa barang tersebut yaitu barang curian, maka ia ikut menerima dosa dan celanya".

Sangat jelas, dengan diharamkannya jual beli barang menyerupai itu yaitu untuk mempersempit perjuangan mencari harta dengan cara haram. Sehingga, tanda-tanda dan akhir kejahatan sanggup ditahan.

7). Mencari harta dengan riba dan judi. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang diberiman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jikalau engkau orang-orang yang diberiman. Maka jikalau engkau tidak mengerjakan (me­ninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jikalau engkau bertaubat (dari peng­ambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; engkau tidak (pula) dianiaya. (Q.S. 2:278-279)

Rasulullah saw. dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad dan Ashhabu 's-Sunan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا ٬ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ ٬ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ٠

"Rasulullah saw. melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, penulisnya dan kedua orang saksinya". Dan dia bersabda, "Mereka tiruana sama".

Riba yang diharamkan oleh Islam ini mencakup beberapa aspek segala perjuangan komersial yang menggunakan riba (bunga), baik itu riba nasi’ah) atau riba fadhal), atau riba (bunga investasi atau riba konsumsi, baik bunganya sedikit ataupun banyak. Semuanya ini termasuk dalam larangan Allah, dengan firman-Nya:

. . . padahal Allah sudah menghalalkan jual beli dan mengharam­kan riba. (Q.S. 2:275)
Islam mengharamkan riba lantaran sebab-sebab diberikut ini:
  • Tidak adanya kesesuaian antara perjuangan dan hasil, lantaran orang yang memdiberi kontribusi berbunga 'rentenir) tidak berusaha, tidak bekerja dan tidak menanggung kerugian. Tetapi, ia menerima harta dan keuntungan, tak peduli orang yang meminjamnya menderita kerugian.
  • Rusaknya ekonomi sosial lantaran pengangguran orang-orang yang meminjamkan harta (uang) dengan bunga, dan kebia­saan mereka dalam kemalasan, sedang ia sangat menginginkan laba yang besar di atas jerih payah orang yang dipinjami­nya, yang membanting tulang untuk mengembalikan uang pokok dan bunganya.
  • Rusaknya moral masyarakat lantaran tidak adanya kolaborasi (tolong menolong) antar individunya lantaran adanya hubungan-hubungan riba. Bahkan sanggup menjadikan rusaknya keutuhan struktur masyarakat lantaran tersebarnya egoisme, sebagai ganti dari pengurbanan, kasih akung dan menlampaukan kepen­tingan orang lain.
  • Karena riba menjadikan masyarakat terbagi menjadi dua golongan yang saling bermusuhan: Golongan berkuasa dengan kapital mereka, dan golongan lemah yang jerih payah dan usaha­nya terpengaruhi bukan dengan jalan yang benar.
  • Karena riba yaitu perjuangan pengembangan prinsip-prinsip kafir yang destruktif, yang disebarluaskan di kalangan masyarakat Islam.
Oleh lantaran alasan-alasan ini, maka Islam mengharamkan riba, dan digolongkan ke dalam dosa-dosa besar. Pelakunya berhak menerima laknat Allah, Malaikat dan insan tiruana hingga hari kemudian!

Jalan-jalan apakah yang dibuka oleh Islam untuk membebas­kan diri atau terbebas dari riba ?
  • Islam membolehkan syirkatu 'l-mudharabah (serikat dagang), yakni kapital dari seseorang, lalu digolongkan (diusahakan) oleh orang lain. Keuntungan dibagi dua sesuai dengan jumlah yang sudah disahkan bersama. Jika rugi, maka penanggung kerugian yaitu orang yang memiliki kapital. Sedang orang yang menggolongkannya, ia tidak ikut menanggung, lantaran cukup baginya dengan pengurbanan waktu dan tenaga dalam mengem­bangkan modal tersebut.
  • Islam memperkenankan perjualan as-salam, yaitu pen­jualan suatu barang dengan pembayaran dilampaukan. Maka, ba­rang siapa yang sangat memerlukan uang, ia sanggup menjual sesuatu pada trend dihasilkannya dengan harga yang sesuai, dengan persyaratan menyerupai tercantum dalam buku-buku fiqh.
  • Islam memperkenankan "penjualan dengan pembayaran ditangguhkan", yaitu dengan suplemen dari harga dalam penjualan kontan. Islam membolehkannya untuk mempergampang kemaslahat­an manusia, dan untuk menghindari kegiatan riba.
  • Islam menganjurkannya didirikannya lembaga-lembaga qiradh yang baik, secara individual atau kolektif, bahkan di bawah pengelolaan pemerintah, untuk merealisasikan prinsip solidaritas sosial antar umat manusia.
  • Membuka lembaga-lembaga zakat, lembaga-lembaga ini menolong orang-ornag yang tidak sanggup membayar pinjaman, mem­menolong orang-orang yang tidak punya, atau orang absurd yang ke­habisan bekal.
Demikianlah pintu-pintu terpenting yang sudah dibuka oleh Islam di hadapan individu Muslim, untuk merealisasikan kesejah­teraan solidaritas, menjaga kehormatan humanisme, mencapai tujuannya yang mulia dalam memenuhi hajatnya, menjamin ke­sejahteraan, meningkatkan kerja dan pendapatannya.

Akan halnya berjudi, kita sudah mengupasnya dalam pembahasan permainan yang diharamkan. Para pembaca dipersilakan untuk membuka kembali lembaran-lembaran yang memuat pembahasan tersebut.
Tag : Hukum Islam
0 Komentar untuk "Cara Berjualan & Mencari Nafkah Yang Dilarang"

Back To Top