Apa Bekal Terbaik Dan Paling Utama?

Bekal Terbaik yaitu ketguhan hati. Sesudah kendaraan dan kapal tersedia bagi musafir atau orang yang hendak bepergian, ia harus mempunyai bekal dalam perjalanannya ini. Lalu, apa bekal dalam perjalanannya kepada Allah SWT? Quran sudah pertanda bekal ini dengan firman Allah SWT: Maka bersama-sama sebaik-baik bekal yaitu ketakwaan.[ QS al-Baqarah [2]: 197 ] . 

melaluiataubersamaini ini, per­siapan perjalanan sudah dilakukan. Sesudah itu, tidak ada yang dibutuh­kan selain tekad (tashmim) dan keteguhan hati ('azm) untuk melaksanakan perjalanan. 

Penjelasan hakikat tashmim dan'azm untuk melaksanakan perjalanan menuju Allah dikemukakan dalam ujaran-ujaran Ahlul Bait a.s. Diriwa­yatkan dari mereka, "Bekal pejalan kepada-Mu yang paling utama ada­lah keteguhan hati dan harapan yang dengannya dia memilih-Mu.[Mafatih al-jinan al-Mu’arrab: A’mal Yawm 27 Rajab, hal. 153]" Jadi, al- 'azm (keteguhan hati) yaitu substansi kemanusiaan. Perbuatan­mu itu yaitu berdasarkan kadar keteguhan hatimu. Keteguhan hati itu spesialuntuklah penlampauan bagi perbuatan-perbuatanmu dan dengannya engkau mewujudkan kemanusiaanmu. 

"Keteguhan hati yang sesuai dengan hal ini yaitu seseorang me­nempati dirinya dan mengambil keputusan untuk meninggalkan ke­maksiatan dan menunaikan kewajiban-kewajiban, dan mengganti apa yang sudah dilewatkannya pada hari-hari kehidupannya. Selanjutnya, pada lahiriahnya ia menjadi insan terpelajar dan mengikuti syariat, dimana syariat dan akal berdasarkan aspek lahiriah memutuskan bahwa makhluk ini yaitu manusia." Kelepuhan hal inilah yang dikatakan Imam a. s. —wallahu a 'lam, "Bekal pejalan kepada-Mu yang paling ulama yaitu keteguhan harapan yang dengannya dia memilih-Mu. Selain itu, seseorang yang menimbulkan lahiriahnya sebagai insan terpelajar dan mengikuti syariat yaitu dengan menimbulkan sikap lahiriahnya dan tujuh kekuatan lahiriahnya—yaitu kaki, tangan, ... (dan seterusnya) yang membentuk kerajaan lahiriah—tunduk pada perintah syariat dan menjauhi larangan-larangannya. melaluiataubersamaini demikian, tujuh kekuatan itu menjadi pintu-pintu surga. Jika terjadi sebaliknya, maka tujuh kekuatan itu menjadi pintu-pintu neraka

Imam Khomeini r.a. menekankan pembicaraannya pada aspek lahiriah, alasannya seseorang tidak bisa hingga pada perbaikan batinnya kecuali dengan memperbaiki lahirnya, dan bahwa perbuatan-perbuat­an lahiriahlah yang besar lengan berkuasa terhadap batinnya. Setiap kali perbuatan-perbuatan lahiriahnya bertambah maka ia mendapat pembawaan batiniah yang lebih banyak. Demikianlah, ia meniti tingkatan-tingkatan dalam perjalanannya. 

Barangkali, dilampaukannya logika atas syariat dalam beberapa peluang, menyerupai ucapannya: "Hendaklah ia menimbulkan lahiriahnya se­bagai insan terpelajar dan mengikuti syariat," dan dilampaukannya syariat atas logika dalam peluang yang lain, menyerupai ucapannya: "di mana syariat dan logika memutuskan ...," menunjukkan bahwa syariat yang benar tidak berperihalan dengan logika yang sehat, dan bahwa logika yang sehat tidak sanggup diperperihalkan dengan syariat yang benar. Da­lam pembahasan-pembahasan setelah ini, kami akan menunjukkan ha­kikat ini, dan bahwa syariat dan logika saling bersesuaian dan mustahil salah satunya dipisahkan dari yang lain. Jika keduanya terpisah maka sudah niscaya salah satunya berada di luar hakikatnya. 

Bagaimanapun, "manusia yang mengikuti syariat yaitu yang me­ngatur perilakunya sesuai dengan tuntunan syariat." Syariat di sini me­miliki banyak sekali tingkatan. 

Pertama, seseorang tidak melaksanakan kewajiban dan tidak menghindari keharaman. Orang ini tidak mengikuti syariat (ghayrsyar'i). 

Kedua, seseorang melaksanakan kewajiban, tetapi tidak menghindari keharaman, di mana sebagian perilakunya sesuai-syariat dan sebagian lain tidak sesuai syariat. 

Ketiga, seseorang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan seba­gian keharaman, tetapi melaksanakan keharaman yang lain. 

Keempat, seseorang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman, tetapi ia meninggalkan mustahabb [sunnah] dan melaksanakan kemakruhan. Orang menyerupai ini lahiriahnya sesuai dengan syariat. Kebanyakan kita dalam posisi ini. 

Kelima, seseorang adakala melaksanakan kewajiban, meninggalkan keharaman, dan melaksanakan yang penting dari perbuatan-perbuatan mustahabb. Ketika itu, perilakunya lebih sesuai dengan syariat daripada tingkatan sebelumnya. 

Keenam, tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan-tingkatan sebelumnya, yaitu seseorang melaksanakan kewajiban, meninggalkan keharaman, tidak meninggalkan perbuatan mustahabb, dan tidak melaku­kan kemakruhan, bahkan juga tidak melaksanakan hal-hal yang mubah, yaitu dengan menimbulkan setiap perbuatan mubah sebagai perbuatan mustahabb dengan melakukannya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Klasifikasi ini ditinjau dari satu sisi. Adapun, dari sisi lain, syariat diklasifikasikan ke dalam dua kategori. 

Pertama, syariat yang diam, yaitu Quran dan riwayat-riwayat Ahlul Bait a.s., yang periwayatannya dari mereka yaitu sahih. 

Kedua, syariat yang berbicara, yaitu Rasulullah saw. dan Ahlul Bait­nya a.s. Oleh alasannya itu, perbuatan dan persetujuan mereka dijadikan hujjah. Dalam hal ini, kita membaca dalam doa ziyaiat al-Hujjah a.s.: "Salam sejahtera atas Yasin. Salam sejahtera atasmu dikala engkau ber­diri. Salam sejahtera atasmu dikala engkau duduk. Salam sejahtera atas­mu dikala engkau rukuk. Salam sejahtera atasmu dikala engkau bersu­jud. Salam sejahtera atasmu dikala engkau pulas ... (dan seterusnya)." Salam sejahtera atasnya dalam setiap perbuatan yang dilakukannya ka­rena seluruhnya yaitu alasannya Allah. Tidak sedikit pun untuk dirinya untuk selama-lamanya. Beliau yaitu insan Ilahi, insan yang mencapai tingkatan ini. melaluiataubersamaini demikian, dia yaitu risalah itu sendiri, bukan orang yang mengamalkan risalah. 

Orang yang ingin mengikuti syariat harus bekerjasama dengan kedua bentuk syariat itu. "Hendaklah lahiriahnya menyerupai lahiriah Ra­sulullah saw., meneladani Nabi saw., meneladaninya dalam tiruana gerak dan diamnya, serta tiruana yang dikerjakan dan ditinggalkannya. Ini ialah masalah yang mungkin dilakukan. Untuk menimbulkan lahi­riah menyerupai pemimpin ini ialah masalah yang sanggup dilakukan oleh setiap individu dari hamba-hamba-Nya." Kita bisa mencocok­kan lahiriah kita dengan lahiriah Rasulullah saw. Allah SWT berfirman: 

Sungguh pada Rasulullah terdapat contoh yang baik bagi kalian.[QS al-Ahzab [33]: 21] Akan tetapi kita tidak bisa mencocokkan batiniah kita dengan batiniah dia sehingga kita menjadi menyerupai beliau, alasannya tidak ada orang yang bisa hingga ke maqam khatamiyyah dan maqam qaba qawsayn aw adna, (panjang dua busur atau lebih dekat).[QS an-Najm [53]: 9] INI yang dikemukakan dalam riwayat ats-tsaqalayn.

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya saya ting­galkan bagi kalian sesuatu yang kalau kalian berpegang padanya maka kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lain, yaitu Kitab Allah: tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan 'itrah-ku: Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan terpisah hingga hadir kepadaku di al-Hawdh. Perhatikanlah, bagaimana kalian membelakangiku ihwal keduanya.[ Sunan at-Tirmidzi, 13, 201: Usud al-Ghabah, 2, 12 dalam biografi Imam al-Hasan a.s.: dan ad-Durr al-Mantsur dalam tafsir ayat mawaddah]"

Sebab, salah satu ujung tali itu ada di tangan hamba sehingga ia selalu dalam proses naik. Setiap kali naik, ia menuntut tambahan. Pada ujung yang lain terdapat [Tuhan] yang paling mulia dari segala yang mulia (akrain al-kurama), yang ba­nyaknya memdiberi dan tidak menambah kecuali kemurahan. Demikian­lah, perjalanan itu berlangsung menuju Kesempurnaan Mutlak yang tidak berbatas. 

Tidak ada perhentian pada perjalanan ini dan tidak berbatas. Dari sini, orang yang tidak mempunyai pemahaman dalam pengetahuan-pengetahuan ini keliru dalam menafsirkan firman Allah SWT: Dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan hadir kepadamu.[ QS al-Hijr [15]: 9] Ia menyampaikan bahwa kalau seseorang didiberi keyakinan dan hingga pada tingkatan pengetahuan ini dalam realitas dan batiniahnya, maka ia tidak memerlukan peribadahan, menyerupai zikir, shalat, puasa, dan sebagainya, dan setelah itu ia tidak membutuhkan hal tersebut. Dari sini, Imam Khomeini mengingatkan duduk masalah penting dan asasi ini, yaitu bahwa insan di alam ini, baik di permulaan, di pertengahan, maupun di selesai perjalanan, bahkan ka­laupun ia hingga ke tingkatan qaba qawsayn aw adna, membutuhkan lahiriah syariat dan berpegang pada perintah-perintah dan larangan-larangannya. Oleh alasannya itu, Imam Khomeini r.a. berkata, "Ketahui­lah, menempuh jalan apapun dalam akhlak yang baik itu" yang ialah pembawaan-pembawaan yang tidak diperoleh kecuali dengan mengamalkan lahiriah tersebut. Kalau ada jalan lain untuk memperoleh pembawaan-pembawaan ini, maka membatasi masalah tersebut dengannya menjadi sia-sia. "sepertiyang tidak mungkin" tanpa beradab dengan lahiriah-lahiriah ini "agar di dalam hatinya cahaya makrifat menampak dan pengetahuan batin dan rahasia-rahasia syariat tersingkap," alasannya ilmu yaitu cahaya yang didiberikan Allah pada hati orang yang dikehendaki-Nya. Namun, Allah SWT tidak mempersembahkannya secara serampangan, melainkan sesuai dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang Dia menetapkan bagi masalah semacam ini. 

Kemudian, "sesudah hakikat tersingkap, kemunculan cahaya-caha­ya makrifat di dalam hatinya akan terus berlangsung dalam proses ber­adab dengan adab-adab syariat lahiriah." Karena dengan demikian, hal itu akan menjadi pembawaan baginya. Kalau ia meninggalkannya maka hal itu tidak akan menjadi pembawaan dan ia kembali ke permulaan. Dalam hal ini, seorang guru Jawadi Amulira. berkata, "Selama insan berada di alam dunia, maka ia berada dalam proses peningkatan. Ketika ia berpindah ke alam akhirat, maka ia menjadi berada di tingkatan ter­tinggi. Kita hidup di dalam sumur alam dunia dan sedang dalam proses naik, setingkat demi setingkat. Tangga kita yaitu ibadah-ibadah kita dan adab-adab syariat lahiriah. Apabila kita meninggalkannya, maka kita meninggalkan proses naik tersebut sehingga kita jatuh lagi ke dasar sumur. 

"Dari sini, kita tahu bahwa keliru anggapan orang yang menyampaikan bahwa ilmu batin sanggup diperoleh dengan meninggalkan ilmu lahir, atau setelah ilmu batin diperoleh, maka hilanglah keperluan terhadap adab-adab lahiriah. Anggapan ini berpertama dari kebodohan orang yang mengatakannya dan ketidaktahuannya terhadap maqam-maqam ibadah dan tingkatan-tingkatan kemanusiaan," alasannya hakikat ibadah yaitu penyembahan kepada Allah SWT. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang bukan hamba-Nya. Selama maujud ini ialah hamba, maka ia harus menghamba atau diberibadah. Apabila ia menafikan keperluan terhadap ibadah pada dirinya, maka ia sudah menafikan kefakiran dan peribadahannya, dan mengaku kekayaan dan ketuhanannya. Bagaimana hal ini sanggup bertemu dengan legalisasi akan kebutuhan dan peribadahan kepada Allah SWT. 

Kemudian, Imam Khomeini r. a. Berkata: "cepatdangampang-gampangan saya didiberi taufik insya Allah untuk pertanda sebagian masalah ini di dalam lembaran-lembaran ini." 

Al-Faydh al-Kasyani r.a. pernah menyampaikan duduk masalah ini, yang alang­kah baiknya kalau kita telaah sejenak, la mengatakan: Jika engkau me­ngatakan, "Apa jalan untuk mengetahui rahasia-rahasia agama dan memperoleh keyakinan?" ketahuilah, Allah SWT sudah menimbulkan kita berpasang-pasangan dan menimbulkan bagi kita masing-masing aturan dan jalan . Kemudian, orang yang ingin mulai memperoleh ilmu yang tersembunyi pada ahlinya, sementara ia bukan termasuk ahlinya, maka hendaklah ia menyambut tugas-tugas syariat, fardu-fardunya, dan nafilah-nafilahnya setelah ia mempelajari hukum-hukumnya, mengetahui halal-haramnya, dan mengambilnya dari ahlinya dan imamnya. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Tanda pendusta yaitu mengabarkan kepadamu diberita langit dan bumi. Namun, apabila ditanya ihwal sesuatu dari masalah-masalah halal dan haram, ia tidak sanggup mempersembahkan jawa­ban sedikit pun. [Al-Mahajjah.al-Baydha', karya al-Faydh al-Kasyani, jil. 5, hal. 139]" 

Tidak setiap orang sanggup mengatakan, "Ini halal dan itu haram." Seseorang harus mengetahui bahwa orang yang menjadi tumpuan pengetahuannya yaitu andal dalam bidangnya, bukan pembohong sehingga ia mengaku mengetahui batin-batin segala masalah dan sudah meninggal­kan lahiriah hukum-hukum itu bagi orang-orang awam. Ini ialah tanda pendusta yang tidak mengetahui bahwa lahiriah ialah jalan menuju batiniah. melaluiataubersamaini demikian, kalau ia tidak mengetahui aspek lahiriah, bagaimana ia sanggup mencapai ilmu batin? 

Kini, kesusahan ini sudah tersebar di khalayak umum di negeri-negeri Islam, terutama di Iran dan beberapa wilayah tetangga, terlebih lagi setelah kemenangan revolusi Islam di Iran.
0 Komentar untuk "Apa Bekal Terbaik Dan Paling Utama?"

Back To Top