Metode pendidikan adab ini didasarkan pada dorongan kepada seseorang dan membuat motif di dalam dirinya untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik dan untuk memperbaiki dirinya melalui jawaban dan kebaikan-kebaikan duniawi berupa pangkat, harta, pujian, atau sebutan yang baik. Selain itu, ia harus diingatkan semoga tidakboleh melaksanakan perbuatan-perbuatan jelek dan mencela perbuatan-perbuatan tersebut dengan menandakan keburukan-keburukan dan bahaya-bahaya duniawi yang diakibatkannya.
Balasan yang diakibatkan dari pengamalan itu mempunyai dua karak-teristik. Pertama, jawaban itu ialah jawaban duniawi. Jelaslah bahwa jawaban menyerupai ini, betapapun waktunya lama, pada kesannya akan terputus dan hilang. Kedua, jawaban itu ialah jawaban artifisial (i'tibari), bukan hakiki. melaluiataubersamaini demikian, kebanggaan yang indah, sebutan yang baik, reputasi, dan sebagainya, tiruananya ialah realitas-realitas yang bersifat artifisial untuk menata kehidupan sosial, tiada lain.
Dalam pada itu, kalau seorang kembali pada realitasnya, tentu ia mendapatikebanyakan dari kita spesialuntuk melaksanakan sejumlah perbuatannya suka ataupun tidak suka untuk memperoleh jawaban ini. Buktinya ialah kalau perbuatan-perbuatannya tidak menghasilkan kebanggaan indah dan sanjungan terhadap kepribadiannya, tetapi faktor tersebut tidak terealisasi, tentu ia akan meninggalkan perbuatan itu dan tidak melakukannya terus- menerus. Tidak menyimpang dari kaidah ini kecuali segelintir orang yang berkata: Sesungguhnya kami mempersembahkan makanan kepada kalian spesialuntuklah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki jawaban dari kalian dan tidak pula [ucapan] terima kasih. (QS al-Insan [76]: 9)
Saya diberikan contohnya dari diri saya sendiri. Kalau seseorang me-ngajar pelajaran adab di daerah ini, sementara ia mempunyai tingkatan dan kemampuan ilmiah yang sama dengan tingkatan dan kemampuan ilmiah saya semoga saya tidak menemukan pembenaran atas ketidaktenangan saya terhadap kelemahannya saya katakan, "Kalau guru menyerupai ini hadir kemudian kebanyakan anakdidik kami pergi kepadanya, menghadiri kuliahnya, dan tidak tinggal pada saya kecuali tiga atau empat orang anakdidik saja, apakah saya akan merasa sakit dan merasa tidak tenang? Saya tidak tahu. Apabila kasus itu berkaitan dengan taklif Ilahi dan dengan pengkhidmatan insan lantaran mereka sudah menggantikan saya dengan orang lain yang setingkat dengan aku, dan semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan lantaran mereka sudah mengambil alih tanggung jawaban dari bahu aku, sementara saya sendiri sudah memperoleh pahala lantaran "niat seseorang lebih baik daripada pengamalannya" (Al-Mahasin, karya al-Barqi, Dar al-Kutub al-Islamiyyah,Qum:260/315) —maka apakah sebaiknya saya merasa sakit atau justru merasa bahagia? Apakah kita berinfak benar-benar untuk mengenal Alilu Bait a.s atau untuk pamer?
Ujilah diri Anda. Berdirilah dalam melaksanakan hal itu dalam waktu usang dan tidakboleh pergi ke daerah yang jauh, lantaran banyak orang di antara kita diuji dengan cara ini tetapi kadang kala mereka tidak mempedulikannya.
Syaikh al-Muthahhari r.a.pernah mengucapkan kalimat yang sangat bernilai dalam dilema ini. Ia berkata, "Banyak orang yang menyayangi Islam, tetapi dengan syarat semoga ia menjadi hujjatul Islam. Kalau orang lain menyampaikan bahwa Islam itu ialah inilah Islam yang dikatakannya, maka ia tidak menerimanya."
Oleh lantaran itu, Imam Khomeini r.a. berkata, "Kalau para nabi tiruananya berkumpul di suatu daerah maka mereka tidak akan tidak sama pendapat, lantaran tidak seorang pun dari mereka menyampaikan 'aku.' Akan tetapi, mereka masing-masing menyampaikan 'dia.' 'Dia' ialah satu sehingga tidak ada artinya kalau terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Pertengkaran dan perbedaan pendapat itu terjadi mabadunga perbuatan-perbuatan itu menjadi milik 'aku' dan hal itu banyak." Al-quran menandakan hal itu: Sekiranya Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan banyak perperihalan di dalamnya.( QS an-Nisa’[4]: 82) Ini ialah prinsip penting yang diputuskan Quran dengan tangan Anda semoga Anda mengetahui apakah perbuatan itu di sisi Allah 'Azza waJalla atau di sisi selain-Nya.
Harus diingatkan di sini, bahwa perbedaan pendapat yang ditolak, yang kita bicarakan, ialah perbedaan pendapat yang terjadi di antara orang Mukmin dan saudaranya sesama Mukmin di tengah umat yang satu ini. Hal itu lantaran perbuatan "aku." Jika tidak, membedakan antara kebenaran dan kebatilan ialah termasuk tugas-tugas dan taklif-taklif seorang Muslim. Allah SWT berfirman:... Mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih akung di atnara mereka sendiri (QS al-Fath [48]: 29).
Sumber perbedaan pendapat di tengah umat yang baik ini ialah "aku." Ulama kita menyampaikan bahwa "aku" inilah yang menjatuhkan iblis dari kedudukannya yang tinggi. Sebelum kejatuhannya Iblis sudah shalat dua rakaat kepada Allah di langit selama enam ribu tahun. Tentang hal itu, Amirul Mukminin a.s. berkata, "Tidak diketahui, apakah termasuk hitungan tahun di dunia atau hitungan tahun di akhirat," (Nahj al-Balaghah, hal.287 ) yang kalau menjelma hari-hari berdasarkan hitungan kita:
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu ialah menyerupai seribu tahun berdasarkan perhitunganmu, (QS al-Hajj [22]: 47) tentu hal itu menjadi kasus yang bersifat imajinatif. Bakan, kalaupun kita mengasumsikan bahwa enam ribu tahun itu ialah nyata, bukan menyampaikan bilangan banyak, dan bahwa kenyataannya ialah jauh lebih banyak daripada itu. Dalam pada itu, inilah yang darinya perbuatan ini muncul. Allah meminta darinya sebuah tuntutan, di mana Dia menyuruhnya semoga bersujud kepada Adam a.s. Namun, dalam jawabanannya, ia menyampaikan "aku" sehingga "aku"-nya itu menjatuhkannya dari kedudukan tersebut.
Semua itu hendaklah kita jadikan pelajaran. Janganlah kita berpikir bahwa kita sudah mempersembahkan jaminan kepada diri kita dengan pengamalan-pengamalan yang kita lakukan, yang kita yakini bahwa pengamalan-pengamalan itu mencegah kita dari kejatuhan. Hal itu lantaran sebuah "aku" sanggup menjatuhkan dan menggugurkan setiap pengamalan yang kita lakukan, betapapun kita sudah melakukannya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, dengan sebuah pengamalan yang kecil, seseorang sanggup melipat jarak seribu tahun dengan satu langkah. Oleh lantaran itu, tidakbolehlah beranggapan bisa mencapai tujuannya dengan kuantitas pengamalannya. "Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sedepa maka Aku berjalan kepadanya dengan langkah yang cepat. (Shahih al-Bukhari, penggalan “Ma Ja’a fi Du’a an-Nabi’)." Kadang-kadang seseorang masuk ke dalam masjid, padahal ia seorang kafir dan pendurhakayang termasuk calon penghuni neraka, dengan niat yang benar sehingga ia menjelma orang Mukmin yang salih. Orang lain keluar dari masjid sebagai seorang kafir dan pendurhaka serta calon penghuni neraka, padahal saat masuk ia seorang Mukmin yang salih.
Pengamalan tidak dilihat dari kuantitas, bentuk, dan lahiriahnya, melainkan yang dilihat ialah kualitas niatnya, hakikatnya, dan batiniahnya. Berdasarkan hal inilah pukulan Ali dalam Perang Khandaq setara dengan ibadah dua golongan (jin dan manusia)—bahkan dalam beberapa riwayat, disebutkan lebih utama daripada ibadah dua golongan ditafsirkan. Hal itu tiada lain spesialuntuklah disebabkan batiniah perbuatan Imam Ali a.s. serta niat dan keikhlasannya. Padahal, dari aspek lahiriah dan perbuatan luar, kadang kala pukulan itu tidak tidak sama dengan pukulan siapa pun yang dipukulkan dan menewaskan 'Umar bin Abd Wudd.
Ketahuilah, keikhlasan dalam berinfak ialah menyerupai yakut merah dalam kelangkaannya. Tidak ada keikhlasan kecuali dengan makrifat atau pengenalan. Oleh lantaran itu, Imam 'Ali a.s. berkata, "Awal agama ialah mengenal-Nya. (Nahj al-Balaghah, khutbah 1.)" Masalah itu lebih penting daripada yang dibayangkan sebagian orang dan menjadi teguh pada orang yang ingin menempuh jalan ilmu dan ulama "karena Allah mengampuni tujuh puluh dosa orang kurang pintar sebelum mengampuni satu dosa orang diberilmu. (Khatimah al-Mustadrak, karya Syaikh an-Nuri, tahqiq: Mu’assasah Alu al-Bayt li Ihya’ at-Turats, 5:247) Kadang-kadang orang diberilmu merasa cukup dengan sejumlah tertentu dari rakaat shalat dan dengan puasa tiga puluh hari dan dua ayat Quran dibandingkan dengan orang-orang awam. Hal itu tidak memadai bagi penuntut ilmu, lantaran bila makrifat itu tidak sama maka perhitungannya pun tidak sama.
INI metode yang diwariskan dari orang-orang zaman lampau dari Yunani dan lain-lain dalam ilmu akhlak. Quran tidak memakai metode ini yang dibangun di atas pemilihan hal-hal terpuji pada kebanyakan orang dari hal-hal tercela serta mengambil hal-hal yang dipandang baik oleh sekelompok orang dan meninggalkan hal-hal yang dipandang buruk. (Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil.1, hal. 355)
Jadi, itulah metode para filosof dan ulama adab zaman lampau. Akan tetapi, Quran tidak menggunakannya. Rahasianya ialah lantaran Quran mustahil mengajak insan pada kasus ini di atas landasan duniawi dan jawaban yang hilang dan bersifat artifisial.
Selain itu, landasan menyerupai ini spesialuntuk memperbaiki lahiriah perbuatan, tidak menyentuh batiniahnya, lantaran kebanggaan yang indah dan sebutan yang baik, misalnya, bergantung pada lahiriah perbuatan, bukan batiniahnya. Orang menyerupai ini, shalat di masjid dan membaca Quran dengan baik sehingga saat orang yang ada di sampingnya memuji bacaan Quran yang dilantunkannya, ia menoleh kepada orang itu sambil berkata, "Selain ini, akujuga berpuasa." Hal itu lantaran ia hidup bersama lahiriah yang memaksa pada pemdiberian lahiriah dan penampakannya, padahal hakikat jawaban tesembunyi di dalam batiniah perbuatan, bukan pada lahiriahnya.
Dalam hal ini, terdapat dilema penting yang harus ditunjukkan. Yakni bahwa Islam tidak mengabaikan lahiriah perbuatan, sebagaimana kadang kala muncul di dalam pikiran sebagian orang. Bahkan, dicip- lakan untuknya aturan-aturan yang terang dan detail. Lalu, setelah itu, seseorang diarahkan untuk mengambil aspek lahiriah ini sebagai jembatan menuju hakikat dan batiniah perbuatan.
Tag :
Metode Pendidikan Islam
0 Komentar untuk "Mendidik Budbahasa Dengan Tujuan Keduniaan Yang Baik"