Dalam uraian sebelumnya, kami sudah menunjukan bahwa perbuatan ialah bentuk luar balasan, dan bahwa pembawaan-pembawaan insan diperoleh melalui perbuatan. Kemudian, dalam uraian tentang beberapa ketentuan, kami sudah menunjukan bahwa terdapat ikatan hakiki antara pelaku perbuatan dan perbuatannya yang tidak terpisah satu dari yang lain. Namun, kami tidak mengetengahkan bagaimana ikatan yang dihasilkan di antara perbuatan dan pelakunya itu. Teknik perbuatan terikat dengan pelakunya berlangsung melalui tiga fase, yaitu keadaan (al-hal), pembawaan {malakah), dan kesatuan (ittihad) atau realisasi (tahaqquq).
Fase Pertama: al-Hal
Al-Hal yang kami maksudkan ialah diperolehnya keadaan tertentu pada seseorang sehabis ia melaksanakan suatu perbuatan. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan hilangnya pemdiberi pengaruh. Keadaan ini ialah ibarat wajah pucat alasannya takut dan merah alasannya malu, atau ibarat seseorang yang mendengar nasihat di masjid tertentu kemudian diperoleh keadaan kejiwaan tertentu, ibarat kecintaan untuk diberinfak, cita-cita untuk berjihad, dan takut pada kematian. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan semata-mata keluarnya ia dari masjid atau silamnya waktu yang tidak usang dari semenjak ia mendengarkan nasihat itu.
Fase Kedua: Malakah
Malakah yang kami maksudkan ialah keras dan kuatnya keadaan sebelumnya dalam keberadaan seseorang sehingga sukar hilang, ibarat pembawaan keberanian pada orang pemberani dan pembawaan keadilan pada orang adil. Apabila malakah ini hilang maka pembawaan ini akan segera kembali.
Fase Ketiga: Ittihad
Fase ini ialah fase yang di dalamnya malakah ialah cuilan dari keberadaan seseorang sehingga mustahil hilang.
Fase ini melupakan tingkat kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) pertama. Oleh alasannya itu, mustahil dibayangkan munculnya kemaksiatan contohnya dari pribadi maksum a.s., alasannya pembawaan keadilan sudah menguat di dalam dirinya sehingga menjadi cuilan dari keberadaannya.
Untuk lebih memahami ketiga fase ini, sanggup dilakukan pendekatan melalui contoh-contoh yang didiberikan para ulama kita dalam duduk kasus ini. Kalau kita mengambil arang hitam dan meletakkannya di atas api, maka arang ini akan melewati ketiga fase ini.
Pertama, arang itu akan menjadi gerah, walaupun masih tetap berwarna hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan segera kembali pada keadaannya semula dan gerahnya hilang. Ini ialah fase al-hal. Kemudian, permukaan arang itu menjelma api, walaupun dalamnya masih tetap hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan kembali pada keadaannya tiruana, tetapi susah dan memerlukan waktu lama. Ini ialah fase malakah. Selanjutnya, kalau arang itu tetap dibiarkan di atas api, maka ia akan menjelma bara api di mana sehabis itu sifat api mustahil hilang darinya. Kalaupun bara itu dijauhkan dari api, maka ia tidak akan kembali pada keadaannya tiruanla sebagai arang yang pertama tadi. Ini ialah fase ittihad.
Jadi, terang bahwa kaitan seseorang dengan perbuatannya melewati tiga fase, baik perbuatan salih maupun perbuatan durhaka. Perbuatan salih, ibarat shalat, puasa, mendamaikan dua orang yang bertengkar, atau diberinfak di jalan Allah, mempunyai aspek lahir dan aspek batin, sebagaimana sudah kami jelaskan sebelumnya. Aspek batinnya ialah surga, ketenteraman, dan rezeki. Apabila perbuatan menyatu pada seseorang, maka orang itu ialah surga, bukan bahwa ia akan masuk surga. Adapun, kalau dia termasuk orang-orang yang didekatkan [kepada Allah], maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki, serta nirwana kenikmatan [QS al-Waqi’ah [56]: 88-89]. Selain itu, hal tersebut disebutkan di dalam beberapa riwayat diberikut.
"Sesungguhnya nirwana sangat merindukan Salman dan Salman merindukan surga. [Rawdhah al-Wa’izhin , karya Fattal an-Nisyaburi, Mansyurat ar-Ridha, hal. 282.]."
"Wahai 'Ali, saya ialah pintu hikmah—yaitu surga—dan engkau, wahai 'Ali, ialah pintunya. [Ibid, hal. 119]"
Diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s. bahwa ia berkata, "Dan nirwana itu tidak terbatas. [Al-Kafi, jil. 8, hal. 213]"
Semua ini dengan syarat adanya kesatuan antara pelaku dan perbuatannya dan antara seseorang dan pembawaan-pembawaannya semoga ia menjadi surga. Berdasarkan hal ini, Fathimah a.s. ialah nirwana sehingga diriwayatkan dari Nabi saw., "Apabila saya merindukan surga, maka saya mencium harum Fathimah. [Ilal asy-Syara’i, Maktabah ad-Dawiri, hal. 184]" Fathimah a.s. ialah nirwana dan ia saw. mempunyai penciuman batiniah yang kesannya ia sanggup mencium bacin surga.
Demikian pula, bila seseorang menjadi alim yang hakiki. Memandang wajahnya ialah ibadah, alasannya saat itu ia memandang surga. Memandangnya sanggup mengingatkan kepada Allah SWT dan harum yang tersebar darinya ialah bacin nirwana bagi orang yang mampu menciumnya.
Hal ibarat ini dinukil dari sebagian wali Allah yang melihat orang-orang dalam rupa yang tidak sama-beda. Dalam realitasnya, hal ini spesialuntuklah melihat perbuatan-perbuatan mereka yang menyatu bersama mereka sehingga pembawaan-pembawaan itu menjadi hakikat bagi mereka.
Hal serupa berlaku pada perbuatan durhaka yang juga mempunyai aspek lahir dan aspek batin. Memakan harta anak yatim ialah enak dan yummy pada lahiriahnya, tetapi batiniahnya ialah api yang dinyalakan. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, bergotong-royong mereka menelan api sepenuh perut mereka [QS an-Nisa’ [4]: 10].
Apabila kita asumsikan cuilan ini ialah cuilan dari keberadaan seseorang, maka orang itu akan menjadi sebongkah api dan akan masuk ke dalam neraka. [Yaitu] api Allah yang dinyalakan, yang [membakar] hingga ke hati [QS al-Humazah [104]: 6-7]. Sebab, api itu mengkremasi batin semoga keluar ke lahir, keadaan sebaliknya dengan keadaan yang ada di dunia. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian pendurhaka yang termasuk penghuni Tabut. Ketika tutup mereka disingkapkan, penghuni neraka itu merintih tanggapan gerah Tabut, alasannya mereka ialah cuilan dari neraka dan juga dimasukkan ke dalam neraka.
Kemudian, banyak perbuatan dosa tidak sanggup dilakukan setiap orang, ibarat membunuh orang maksum a.s.. Kedurhakaan dan kekejian pada pembunuh ini niscaya hingga pada tingkatan yang tinggi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadi cuilan dari keberadaannya untuk melaksanakan perbuatan ibarat ini. Al quran sudah mengungkapkan tumpuan orang-orang ibarat mereka dengan firman Allah SWT: [Bukan demikian], yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia sudah diliputi oleh dosanya [QS al-Baqarah [2]: 81]. Sesudah perbuatan dosa itu, ia tidak melihat sebuah perbuatan dosa melainkan melihatnya sebagai perbuatan baik. Dan mereka mengira bahwa mereka berbuat kebaikan [QS al-Kahfi [18]: 194].
Allah sudah mengatakan hakikat ini dan bahwa perbuatan-perbuatan kadang kala ialah keadaan (al-hal), pembawaan (malakah,), atau cuilan dari keberadaan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: [Yaitu] orang-orang yang diberiman dan bersedekah salih [QS al-Baqarah [2]: 25]. Allah menyebut perbuatan mereka sebagai kesalihan. Adapun, diri mereka sendiri tidak dibicarakan. Barangkali, tanggapan itu di sini ialah dalam bentuk keadaan (al-hal) atau pembawaan (malakah).
Di dalam firman Allah SWT: Dan mereka termasuk orang-orang yang Salih [QS ali ‘Imran [3]: 114] terdapat indikasi bahwa bukan spesialuntuk perbuatan mereka yang salih. Akan tetapi, diri mereka sendiri juga salih. Hal itu kaena kesalihan sudah menyatu bersamanya. Jadi, terang bahwa dari diri mereka tidak keluar suatu perbuatan melainkan yang sesuai dengan karakternya. Katakanlah, "Masing-masing berbuat berdasarkan keadaannya. [QS al-Isra’ [17]: 84]" Dalam konteks ini juga dikemukakan keadaan putra Nabi Nuh a.s.. Allah SWT berfirman: ... Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, alasannya perbuatannya tidak salih [QS Hud [11]: 46]. Artinya, keberadaannya ialah keberadaan ketidaksalihan, bukan spesialuntuk perbuatannya yang tidak salih.
Kemudian, perbuatan-perbuatan insan pendurhaka, saat melupakan suatu "keadaan" (al-hal), dicukupkan dengan himpitan kubur atau siksaan barzah untuk menyucikannya. Lalu, pada hari selesai zaman ia hadir sebagai orang yang suci. Adapun, kalau keadaan ini mengeras dan menjelma pembawaan (malakah), maka ia tidak dicukupkan dengan tekanan kubur dan tidak pula dengan siksaan barzah untuk menyucikannya, melainkan harus dimasukkan ke dalam neraka pada Hari Kiamat untuk menyucikannya kalau termasuk para penganut tauhid. Jika tidak, ia tidak akan dikeluarkan darinya alasannya ia ialah cuilan dari neraka itu. Demikianlah, keras dan lamanya kadar siksaan kita ialah berdasarkan kadar kekerasan pembawaan kedurhakaan pada diri kita .
Rasulullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah, wahai para pengikut Syiah, alasannya nirwana tidak akan melewatkan kalian, walaupun perbuatan-perbuatan jelek kalian memperlambat kehadirannya kepada kalian. Oleh alasannya itu, dalam meraih tingkatan-tingkatannya." Seseorang bertanya, "Apakah ada seseorang dari para pencinta Anda dan para pencinta Ali a.s. masuk neraka?" Beliau menjawaban, "Barangsiapa mengotori dirinya, jatuh ke dalam keharaman, menzalimi orang-orang Mukmin, baik pria maupun perempuan, dan menyalahi ketetapan syariat, maka pada Hari Kiamat ia hadir dalam keadaan bernajis." Kemudian, seseorang berkata kepada orang itu, "Wahai fulan, engkau bernajis, tidak pantas bergaul dengan orang-orang baik dan berangkulan dengan bidadari dan para malaikat yang didekatkan. Kamu tidak akan hingga ke sana kecuali dengan menyucikan dari dirimu dari apa yang ada di sini—artinya, menyucikan dosa-dosamu." Selanjutnya, beliau berkata, "Kemudian, ia masuk ke dalam tingkatan neraka Jahanam tertinggi kemudian disiksa alasannya sebagian dosanya. Di antara mereka ada yang ditimpa kesusahan di Mahsyar alasannya sebagian dosanya. Ada orang yang dosa-dosanya lebih sedikit dan lebih enteng sehingga ia disucikan dengan kesusahan-kesusahan dan bencana-bencana yang ditimpakan para penguasa dan lain-lain. Ada pula orang yang mendekati kematiannya dan masih kesusahan sehingga semakin susah dihindarkan dan kesannya ia diampuni. [Bihar al-Anwar, jil. 8, hal. 352]"
Begitu pula perbuatan-perbuatan salih, alasannya tekanan kubur menyebabkan seseorang melupakan perbuatan-perbuatan itu saat melupakan "keadaan." Oleh alasannya itu, tentang pesan tersirat talqin, para ulama sebut bahwa jenazah diingatkan akan komitmen yang sudah kita tinggalkan, yaitu kesaksian bahwa tiada ilahi selain Allah, alasannya hal ini dilupakan, bahkan namanya, tanggapan dahsyatnya keadaan tersebut. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: Barangsiapa membawa kebaikan, maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut [QS al-An’am [6]: 160] dan bukan "barangsiapa mengerjakan kebaikan maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut." Sebab, banyak dari kita yang mengerjakan kebaikan tetapi sehabis itu kebaikan tersebut hilang dan tidak awet, alasannya masih berupa "keadaan," bukan "pembawaan." Apabila seseorang bisa menjadikannya mengakar dan cuilan dari keberadaannya, kemudian ia membawanya pada Hari Kiamat, maka ia memperoleh sepuluh kali lipatnya.
Fase Pertama: al-Hal
Al-Hal yang kami maksudkan ialah diperolehnya keadaan tertentu pada seseorang sehabis ia melaksanakan suatu perbuatan. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan hilangnya pemdiberi pengaruh. Keadaan ini ialah ibarat wajah pucat alasannya takut dan merah alasannya malu, atau ibarat seseorang yang mendengar nasihat di masjid tertentu kemudian diperoleh keadaan kejiwaan tertentu, ibarat kecintaan untuk diberinfak, cita-cita untuk berjihad, dan takut pada kematian. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan semata-mata keluarnya ia dari masjid atau silamnya waktu yang tidak usang dari semenjak ia mendengarkan nasihat itu.
Fase Kedua: Malakah
Malakah yang kami maksudkan ialah keras dan kuatnya keadaan sebelumnya dalam keberadaan seseorang sehingga sukar hilang, ibarat pembawaan keberanian pada orang pemberani dan pembawaan keadilan pada orang adil. Apabila malakah ini hilang maka pembawaan ini akan segera kembali.
Fase Ketiga: Ittihad
Fase ini ialah fase yang di dalamnya malakah ialah cuilan dari keberadaan seseorang sehingga mustahil hilang.
Fase ini melupakan tingkat kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) pertama. Oleh alasannya itu, mustahil dibayangkan munculnya kemaksiatan contohnya dari pribadi maksum a.s., alasannya pembawaan keadilan sudah menguat di dalam dirinya sehingga menjadi cuilan dari keberadaannya.
Untuk lebih memahami ketiga fase ini, sanggup dilakukan pendekatan melalui contoh-contoh yang didiberikan para ulama kita dalam duduk kasus ini. Kalau kita mengambil arang hitam dan meletakkannya di atas api, maka arang ini akan melewati ketiga fase ini.
Pertama, arang itu akan menjadi gerah, walaupun masih tetap berwarna hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan segera kembali pada keadaannya semula dan gerahnya hilang. Ini ialah fase al-hal. Kemudian, permukaan arang itu menjelma api, walaupun dalamnya masih tetap hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan kembali pada keadaannya tiruana, tetapi susah dan memerlukan waktu lama. Ini ialah fase malakah. Selanjutnya, kalau arang itu tetap dibiarkan di atas api, maka ia akan menjelma bara api di mana sehabis itu sifat api mustahil hilang darinya. Kalaupun bara itu dijauhkan dari api, maka ia tidak akan kembali pada keadaannya tiruanla sebagai arang yang pertama tadi. Ini ialah fase ittihad.
Jadi, terang bahwa kaitan seseorang dengan perbuatannya melewati tiga fase, baik perbuatan salih maupun perbuatan durhaka. Perbuatan salih, ibarat shalat, puasa, mendamaikan dua orang yang bertengkar, atau diberinfak di jalan Allah, mempunyai aspek lahir dan aspek batin, sebagaimana sudah kami jelaskan sebelumnya. Aspek batinnya ialah surga, ketenteraman, dan rezeki. Apabila perbuatan menyatu pada seseorang, maka orang itu ialah surga, bukan bahwa ia akan masuk surga. Adapun, kalau dia termasuk orang-orang yang didekatkan [kepada Allah], maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki, serta nirwana kenikmatan [QS al-Waqi’ah [56]: 88-89]. Selain itu, hal tersebut disebutkan di dalam beberapa riwayat diberikut.
"Sesungguhnya nirwana sangat merindukan Salman dan Salman merindukan surga. [Rawdhah al-Wa’izhin , karya Fattal an-Nisyaburi, Mansyurat ar-Ridha, hal. 282.]."
"Wahai 'Ali, saya ialah pintu hikmah—yaitu surga—dan engkau, wahai 'Ali, ialah pintunya. [Ibid, hal. 119]"
Diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s. bahwa ia berkata, "Dan nirwana itu tidak terbatas. [Al-Kafi, jil. 8, hal. 213]"
Semua ini dengan syarat adanya kesatuan antara pelaku dan perbuatannya dan antara seseorang dan pembawaan-pembawaannya semoga ia menjadi surga. Berdasarkan hal ini, Fathimah a.s. ialah nirwana sehingga diriwayatkan dari Nabi saw., "Apabila saya merindukan surga, maka saya mencium harum Fathimah. [Ilal asy-Syara’i, Maktabah ad-Dawiri, hal. 184]" Fathimah a.s. ialah nirwana dan ia saw. mempunyai penciuman batiniah yang kesannya ia sanggup mencium bacin surga.
Demikian pula, bila seseorang menjadi alim yang hakiki. Memandang wajahnya ialah ibadah, alasannya saat itu ia memandang surga. Memandangnya sanggup mengingatkan kepada Allah SWT dan harum yang tersebar darinya ialah bacin nirwana bagi orang yang mampu menciumnya.
Hal ibarat ini dinukil dari sebagian wali Allah yang melihat orang-orang dalam rupa yang tidak sama-beda. Dalam realitasnya, hal ini spesialuntuklah melihat perbuatan-perbuatan mereka yang menyatu bersama mereka sehingga pembawaan-pembawaan itu menjadi hakikat bagi mereka.
Hal serupa berlaku pada perbuatan durhaka yang juga mempunyai aspek lahir dan aspek batin. Memakan harta anak yatim ialah enak dan yummy pada lahiriahnya, tetapi batiniahnya ialah api yang dinyalakan. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, bergotong-royong mereka menelan api sepenuh perut mereka [QS an-Nisa’ [4]: 10].
Apabila kita asumsikan cuilan ini ialah cuilan dari keberadaan seseorang, maka orang itu akan menjadi sebongkah api dan akan masuk ke dalam neraka. [Yaitu] api Allah yang dinyalakan, yang [membakar] hingga ke hati [QS al-Humazah [104]: 6-7]. Sebab, api itu mengkremasi batin semoga keluar ke lahir, keadaan sebaliknya dengan keadaan yang ada di dunia. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian pendurhaka yang termasuk penghuni Tabut. Ketika tutup mereka disingkapkan, penghuni neraka itu merintih tanggapan gerah Tabut, alasannya mereka ialah cuilan dari neraka dan juga dimasukkan ke dalam neraka.
Kemudian, banyak perbuatan dosa tidak sanggup dilakukan setiap orang, ibarat membunuh orang maksum a.s.. Kedurhakaan dan kekejian pada pembunuh ini niscaya hingga pada tingkatan yang tinggi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadi cuilan dari keberadaannya untuk melaksanakan perbuatan ibarat ini. Al quran sudah mengungkapkan tumpuan orang-orang ibarat mereka dengan firman Allah SWT: [Bukan demikian], yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia sudah diliputi oleh dosanya [QS al-Baqarah [2]: 81]. Sesudah perbuatan dosa itu, ia tidak melihat sebuah perbuatan dosa melainkan melihatnya sebagai perbuatan baik. Dan mereka mengira bahwa mereka berbuat kebaikan [QS al-Kahfi [18]: 194].
Allah sudah mengatakan hakikat ini dan bahwa perbuatan-perbuatan kadang kala ialah keadaan (al-hal), pembawaan (malakah,), atau cuilan dari keberadaan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: [Yaitu] orang-orang yang diberiman dan bersedekah salih [QS al-Baqarah [2]: 25]. Allah menyebut perbuatan mereka sebagai kesalihan. Adapun, diri mereka sendiri tidak dibicarakan. Barangkali, tanggapan itu di sini ialah dalam bentuk keadaan (al-hal) atau pembawaan (malakah).
Di dalam firman Allah SWT: Dan mereka termasuk orang-orang yang Salih [QS ali ‘Imran [3]: 114] terdapat indikasi bahwa bukan spesialuntuk perbuatan mereka yang salih. Akan tetapi, diri mereka sendiri juga salih. Hal itu kaena kesalihan sudah menyatu bersamanya. Jadi, terang bahwa dari diri mereka tidak keluar suatu perbuatan melainkan yang sesuai dengan karakternya. Katakanlah, "Masing-masing berbuat berdasarkan keadaannya. [QS al-Isra’ [17]: 84]" Dalam konteks ini juga dikemukakan keadaan putra Nabi Nuh a.s.. Allah SWT berfirman: ... Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, alasannya perbuatannya tidak salih [QS Hud [11]: 46]. Artinya, keberadaannya ialah keberadaan ketidaksalihan, bukan spesialuntuk perbuatannya yang tidak salih.
Kemudian, perbuatan-perbuatan insan pendurhaka, saat melupakan suatu "keadaan" (al-hal), dicukupkan dengan himpitan kubur atau siksaan barzah untuk menyucikannya. Lalu, pada hari selesai zaman ia hadir sebagai orang yang suci. Adapun, kalau keadaan ini mengeras dan menjelma pembawaan (malakah), maka ia tidak dicukupkan dengan tekanan kubur dan tidak pula dengan siksaan barzah untuk menyucikannya, melainkan harus dimasukkan ke dalam neraka pada Hari Kiamat untuk menyucikannya kalau termasuk para penganut tauhid. Jika tidak, ia tidak akan dikeluarkan darinya alasannya ia ialah cuilan dari neraka itu. Demikianlah, keras dan lamanya kadar siksaan kita ialah berdasarkan kadar kekerasan pembawaan kedurhakaan pada diri kita .
Rasulullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah, wahai para pengikut Syiah, alasannya nirwana tidak akan melewatkan kalian, walaupun perbuatan-perbuatan jelek kalian memperlambat kehadirannya kepada kalian. Oleh alasannya itu, dalam meraih tingkatan-tingkatannya." Seseorang bertanya, "Apakah ada seseorang dari para pencinta Anda dan para pencinta Ali a.s. masuk neraka?" Beliau menjawaban, "Barangsiapa mengotori dirinya, jatuh ke dalam keharaman, menzalimi orang-orang Mukmin, baik pria maupun perempuan, dan menyalahi ketetapan syariat, maka pada Hari Kiamat ia hadir dalam keadaan bernajis." Kemudian, seseorang berkata kepada orang itu, "Wahai fulan, engkau bernajis, tidak pantas bergaul dengan orang-orang baik dan berangkulan dengan bidadari dan para malaikat yang didekatkan. Kamu tidak akan hingga ke sana kecuali dengan menyucikan dari dirimu dari apa yang ada di sini—artinya, menyucikan dosa-dosamu." Selanjutnya, beliau berkata, "Kemudian, ia masuk ke dalam tingkatan neraka Jahanam tertinggi kemudian disiksa alasannya sebagian dosanya. Di antara mereka ada yang ditimpa kesusahan di Mahsyar alasannya sebagian dosanya. Ada orang yang dosa-dosanya lebih sedikit dan lebih enteng sehingga ia disucikan dengan kesusahan-kesusahan dan bencana-bencana yang ditimpakan para penguasa dan lain-lain. Ada pula orang yang mendekati kematiannya dan masih kesusahan sehingga semakin susah dihindarkan dan kesannya ia diampuni. [Bihar al-Anwar, jil. 8, hal. 352]"
Begitu pula perbuatan-perbuatan salih, alasannya tekanan kubur menyebabkan seseorang melupakan perbuatan-perbuatan itu saat melupakan "keadaan." Oleh alasannya itu, tentang pesan tersirat talqin, para ulama sebut bahwa jenazah diingatkan akan komitmen yang sudah kita tinggalkan, yaitu kesaksian bahwa tiada ilahi selain Allah, alasannya hal ini dilupakan, bahkan namanya, tanggapan dahsyatnya keadaan tersebut. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: Barangsiapa membawa kebaikan, maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut [QS al-An’am [6]: 160] dan bukan "barangsiapa mengerjakan kebaikan maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut." Sebab, banyak dari kita yang mengerjakan kebaikan tetapi sehabis itu kebaikan tersebut hilang dan tidak awet, alasannya masih berupa "keadaan," bukan "pembawaan." Apabila seseorang bisa menjadikannya mengakar dan cuilan dari keberadaannya, kemudian ia membawanya pada Hari Kiamat, maka ia memperoleh sepuluh kali lipatnya.
Tag :
Ilmu Akhlak
0 Komentar untuk "Kaitan Antara Pelaku Perbuatan Dan Perbuatannya"