Agar puasa kita benar, diterima dan sah tentunya selain memenuhi syarat wajib dan sahnya puasa tidak lupa harus memenuhi rukun-rukun puasa. Rukun puasa yang pokok ada dua: 1. Niat berpuasa. 2. Menahan diri dari tiruana yang membatalkannya (mufaththirat) semenjak fajar hingga terbenamnya matahari.
Pertama: NIAT
Niat, maksudnya menyengaja berpuasa. Tempat niat dalam hati, dan tidak cukup spesialuntuk diucapkan dengan lidah, bahkan tidak diper-syaratkan melafazhkannya.
Adapun ihwal wajibnya niat ialah sabda Nabi SAW:
Artinya: "Sesungguhnya amal-amal itu bergantung dengan niat-niatnya. " (H.R. al-Bukhari: l, dan Muslim: 1907)
Jika niat yang dimaksud yaitu untuk berpuasa Ramadhan, maka dipersyaratkan memenuhi hal-hal diberikut:
1. Melakukan niat di waktu malam (tabyit).
Yakni, hendaknya pada malam hari yang besoknya akan berpuasa, niat dilakukan, yaitu sebelum terbit fajar. Dan jika niat berpuasa gres dilakukan setelah fajar, maka niat menyerupai itu batal, dan dengan demikian puasanya tidak sah. Adapun dalilnya ialah sabda Nabi SAW:
Artinya: ''Barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya. " (H. R. ad-Daruquthni 2:172, dia katakan, para periwayatnya tsiqat (terpercaya), dan diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi 4:202)
2. Menentukan (Ta'yin).
Yakni menentukan puasa apa yang akan dikerjakan. Jadi, dalam hati niatkanlah melaksanakan puasa besok, untuk salah satu hari bulan Ramadhan. Maksudnya, jika dalam hati spesialuntuk berniat puasa secara mutlak, maka niatnya tidak sah, menurut hadits Nabi SAW di mana dia mengatakan: "Sesungguhnya amal-amal itu bergantung dengan niat-niatnya", sebagaimana tersebut di atas, yang dilanjutkan dengan:
Artinya: "Dan sesungguhnya tiap-tiap orang memiliki niat sendiri-sendiri."
Maksudnya, dia mengarah kepada pekerjaan yang dia sengaja melakukannya."
3. Berulang-ulang (takrar)
Yakni, mengulangi niat pada setiap malam sebelum fajar, untuk me-lakukan puasa pada esok harinya. Makara niat sekali untuk satu bulan penuh tidaklah cukup. Karena puasa bulan Ramadhan bukan satu ibadat, tetapi ibadat-ibadat yang berulang-ulang. Dan tiap-tiap ibadat harus diniatkan sendiri-sendiri. Adapun untuk puasa nafilah, tidak dipersyaratkan melaksanakan niat pada malam hari, dan tidak pula harus menentukan puasa apa. Jadi, cukup dengan berniat sebelum tergelincirnya matahari ke barat (zpertama), dan sah dengan niat yang mutlak.
Adapun dalilnya ialah hadits riwayat 'Aisyah RA:
Artinya: "Bahwa Nabi SAW pada suatu hari bertanya kepadanya: "Apakah ada masakan padamu?" Dia jawaban, "tidak". Maka dia bersabda: "Kalau begitu saya benar-benar berpuasa". (H.R. ad-Daruquthni)
Kedua ; Menahan Diri dari tiruana yang membatalkan puasa (MufatKEDUA: MENAHAN DIRI DARI SEMhthirat)
Adapun yang membatalkan puasa ialah sebagai diberikut:
1. Makan dan minum.
Yakni, makan dan minum yang dilakukan dengan sengaja, sekalipun yang dimakan atau diminum, itu spesialuntuk sedikit. Tetapi jika lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, kemudian makan atau minum, maka puasanya tidak batal sekalipun yang dimakan atau diminum cukup banyak. Adapun dalilnya ialah hadits riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata:
Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "Barangsiapa lupa saat berpuasa kemudian makan atau minum, maka hendaklah ia selesaikan puasanya. Karena dia sesungguhnya didiberi makan dan minum oleh Allah." (H.R. Muslim: 1155, dan al-Bukhari: 1831)
2. Ada sesuatu barang yang masuk ke perut lewat rongga yang tembus ke sana.
Yang dimaksud barang ('ain) di sini ialah apa saja yang bisa dilihat oleh mata. Sedang perut Oauf), maksudnya rongga dalam badan di balik kerongkongan hingga ke lambung dan usus. Atau, jauf diartikan pula otak. Adapun rongga yang tembus ke perut ialah mulut, hidung telinga, kubul dan dubur pria maupun perempuan.
melaluiataubersamaini demikian, memdiberi obat tetes ke pendengaran membatalkan puasa, lantaran pendengaran itu rongga yang tembus ke perut. Sedang obat tetes mata tidak, lantaran mata itu buntu.
Begitu pula, suntikan lewat dubur atau kubul membatalkan, lantaran kedua-duanya tembus ke perut, sedang yang lewat urat daging tidak, lantaran urat daging itu bukan rongga, demikian seterusnya. Dan ini tiruana dengan syarat disengaja. Adapun jika salah satunya dilakukan tidak sengaja, maka tidak mengapa, dikiaskan kepada masakan dan minuman.
Dan jika perut kemasukan lalat, nyamuk atau bubuk jalanan, maka puasa tidak batal, lantaran untuk menghindarinya susah sekali.
Begitu pula jika seseorang menelan ludahnya sendiri, maka puasanya tidak batal, lantaran susah menghindarinya. Adapun jika yang ditelan itu ludah yang najis, menyerupai halnya orang yang gusinya berdarah, sedang mulutnya belum dicuci, sekalipun ludahnya bewarna putih, tetapi itu membatalkan puasa.
Sekarang, jika orang berkumur atau menghirup air ke hidung, kemudian airnya tertelan ke perut, maka tidak membatalkan puasa, jika saat berwudhu' itu, berkumur dan menghirupnya tidak bersangatan (mubalaghah). Tetapi, jika bersangatan, maka membatalkan. Karena ia sudah melaksanakan sesuatu yang terlarang selagi berpuasa.
Sedang apabila ada sisa masakan di sela-sela gigi, kemudian tanpa sengaja hanyut oleh ludah ke dalam perut, maka tidak membatalkan, apabila dia tidak bisa mengorek sisa masakan itu dan meludah- kannya. Karena dia tidak sengaja dan dimaafkan. Tetapi, jika dia bisa mengoreknya, maka membatalkan, alasannya yaitu dia lalai.
Kemudian, jika ada orang dipaksa makan atau minum, ini pun tidak batal puasanya, lantaran dia tidak bisa lagi dihukumi sebagai orang yang bisa memilih.
3. Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa, sekalipun pelakunya yakin tidak ada sesuatu yang balik lagi ke perut. Sedang jika muntah itu tidak sengaja, maka tidak mengapa, sekalipun yakin ada sebagian yang sudah keluar benar-benar balik lagi ke perut tanpa sengaja.
Dalilnya sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "Barangsiapa muntah tanpa sengaja, selagi berpuasa, maka dia tidak wajib qadha’. Tapi bila ia sengaja muntah, maka hendaklah ia melaksanakan qadha. " (H.R. Abu Daud: 2380, At-Tirmidzi: 720 dan lainnya)
4. Bersetubuh-tubuh dengan sengaja
Bersetubuh dengan sengaja membatalkan puasa, sekalipun tidak mengeluarkan mani. Dalilnya ialah firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Dan makan-minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga malam, (tetapi) tidakbolehlah engkau campuri mereka (isteri- isterimu), sedang engkau diberi 'tikaf dalam masjid. " (Q.S. al-Baqarah 2:187)
Al-Khalthul Abyadh, benang putih, maksudnya cahaya siang.
Ak-Khaitul Aswad, benang hitam, ialah jasus malam. Sedang fajar ialah cahaya yang terbit sepanjang cakrpertamaa, yang dengan terbitnya itu berakhirlah malam, dan mulailah siang.
Tubasyiruhunna: engkau menyetubuhi isteri-isterimu.
Wa antum 'akifuna: sedang engkau dalam keadaan diberi'tikaf. Adapun jika persetubuhan itu dilakukan tanpa sengaja, maka tidaklah membatalkan puasa, lantaran dikiaskan kepada makan dan minum.
5. Mengeluarkan mani dengan sengaja (istimna')
Yakni, lantaran berciuman umpamanya, atau lantaran melaksanakan onani. Kesengajaan mengeluarkan mani membatalkan puasa, sedang yang tidak sengaja, tidak.
Dalam pada itu, mencium isteri saat berpuasa Ramadhan yaitu makruh tahrim, bagi orang yang masih tergerak syahwatnya, baik pria maupun perempuan, lantaran hal itu mengantar ke arah rusaknya puasa. Adapun bagi orang yang sudah tidak tergerak lagi syahwatnya, mencium isteri pun baginya lebih baik ditinggalkan, supaya soal ini sama sekali tidak dilakukan orang.
Menurut riwayat Muslim (1106) dari 'Aisyah RA, dia berkata:
Artinya: "Pernah Rasulullah SA W menciumku selagi dia berpuasa. Tapi, siapakah di antara engkau yang sanggup menguasai syahwatnya, menyerupai halnya yang dilakukan Rasulullah SAW?
Para Ulama' berkata: Maksud perkataan 'Aisyah RA ialah, bergotong-royong engkau harus menghindari berciuman, dan tidakboleh menanggap bahwa dirimu diperbolehkan melakukannya menyerupai Nabi SAW. Karena dia bisa menguasai dirinya dan tak mungkin melaksanakan ciuman yang menyebabkan keluarnya mani, atau yang menyebabkan syahwat, atau membangkitkan nafsu dsb. Sedang engkau tidak terjamin dari hal-hal tersebut.
6. Haid dan Nifas
Haid dan nifas membatalkan puasa, lantaran kedua-duanya ialah udzur yang menghalangi sahnya puasa. Artinya, apabila seorang perempuan yang sedang berpuasa kehadiran haid atau nifas pada sebagian siang, maka batallah puasanya, dan ia wajib mengqadha' puasa hari itu pada hari yang lain. Menurut riwayat al-Bukhari (298) dan Muslim (80), dari Abu Sa'id RA:
Artinya: "Bahwa Rasulullah SAW berkata ihwal perempuan saat dia ditanya ihwal kurangnya agama wanita: "Bukankah apabila dia haid, maka dia tidak shalat dan tidak pula berpuasa?"
7. Gila dan murtad.
Gila dan murtad yaitu pencegah sahnya puasa. Karena orang yang mengalaminya keluar dari kepatutan diberibadat.
Demikianlah, orang yang berpuasa berkewajiban menahan diri dari hal-hal tersebut di atas yang membatalkan puasa, supaya puasanya itu sah, semenjak permulaan terbitnya fajar hingga matahari benar- benar terbenam. Dan jika ada salah satu di antara hal-hal tersebut yang dilakukannya, lantaran menyangka fajar belum menyingsing, tapi ternyata persangkaannya keliru, maka batal puasanya, namun begitu dia tetap wajib menahan diri dari makan-minum dan lain- lain, demi menghormati bulan Ramadhan, kemudian dia mengqadha' puasa yang ditinggalkannya itu pada hari lain.
Dan begitu pula, apabila dia berbuka puasa pada sore hari, lantaran menyangka matahari sudah terbenam, tapi ternyata belum, maka puasanya pun batal, dan wajib mengqadha'nya kelak.
Niat, maksudnya menyengaja berpuasa. Tempat niat dalam hati, dan tidak cukup spesialuntuk diucapkan dengan lidah, bahkan tidak diper-syaratkan melafazhkannya.
Adapun ihwal wajibnya niat ialah sabda Nabi SAW:
. اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ٠
Artinya: "Sesungguhnya amal-amal itu bergantung dengan niat-niatnya. " (H.R. al-Bukhari: l, dan Muslim: 1907)
Jika niat yang dimaksud yaitu untuk berpuasa Ramadhan, maka dipersyaratkan memenuhi hal-hal diberikut:
1. Melakukan niat di waktu malam (tabyit).
Yakni, hendaknya pada malam hari yang besoknya akan berpuasa, niat dilakukan, yaitu sebelum terbit fajar. Dan jika niat berpuasa gres dilakukan setelah fajar, maka niat menyerupai itu batal, dan dengan demikian puasanya tidak sah. Adapun dalilnya ialah sabda Nabi SAW:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامََ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِّيَامََ لَهُ٠
Artinya: ''Barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya. " (H. R. ad-Daruquthni 2:172, dia katakan, para periwayatnya tsiqat (terpercaya), dan diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi 4:202)
2. Menentukan (Ta'yin).
Yakni menentukan puasa apa yang akan dikerjakan. Jadi, dalam hati niatkanlah melaksanakan puasa besok, untuk salah satu hari bulan Ramadhan. Maksudnya, jika dalam hati spesialuntuk berniat puasa secara mutlak, maka niatnya tidak sah, menurut hadits Nabi SAW di mana dia mengatakan: "Sesungguhnya amal-amal itu bergantung dengan niat-niatnya", sebagaimana tersebut di atas, yang dilanjutkan dengan:
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى ٠
Artinya: "Dan sesungguhnya tiap-tiap orang memiliki niat sendiri-sendiri."
Maksudnya, dia mengarah kepada pekerjaan yang dia sengaja melakukannya."
3. Berulang-ulang (takrar)
Yakni, mengulangi niat pada setiap malam sebelum fajar, untuk me-lakukan puasa pada esok harinya. Makara niat sekali untuk satu bulan penuh tidaklah cukup. Karena puasa bulan Ramadhan bukan satu ibadat, tetapi ibadat-ibadat yang berulang-ulang. Dan tiap-tiap ibadat harus diniatkan sendiri-sendiri. Adapun untuk puasa nafilah, tidak dipersyaratkan melaksanakan niat pada malam hari, dan tidak pula harus menentukan puasa apa. Jadi, cukup dengan berniat sebelum tergelincirnya matahari ke barat (zpertama), dan sah dengan niat yang mutlak.
Adapun dalilnya ialah hadits riwayat 'Aisyah RA:
هَلْ عِنْدَكُمْ مِِنْ غَدَاءٍ ؟ قَالَتْ ׃ لاَ ، فَاِنِّى اِذًا اَ صُوْمُ
Artinya: "Bahwa Nabi SAW pada suatu hari bertanya kepadanya: "Apakah ada masakan padamu?" Dia jawaban, "tidak". Maka dia bersabda: "Kalau begitu saya benar-benar berpuasa". (H.R. ad-Daruquthni)
Kedua ; Menahan Diri dari tiruana yang membatalkan puasa (MufatKEDUA: MENAHAN DIRI DARI SEMhthirat)
Adapun yang membatalkan puasa ialah sebagai diberikut:
1. Makan dan minum.
Yakni, makan dan minum yang dilakukan dengan sengaja, sekalipun yang dimakan atau diminum, itu spesialuntuk sedikit. Tetapi jika lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, kemudian makan atau minum, maka puasanya tidak batal sekalipun yang dimakan atau diminum cukup banyak. Adapun dalilnya ialah hadits riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata:
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صََائِمٌ فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اﷲُ وَسَقَاهُ٠
Artinya: "Barangsiapa lupa saat berpuasa kemudian makan atau minum, maka hendaklah ia selesaikan puasanya. Karena dia sesungguhnya didiberi makan dan minum oleh Allah." (H.R. Muslim: 1155, dan al-Bukhari: 1831)
2. Ada sesuatu barang yang masuk ke perut lewat rongga yang tembus ke sana.
Yang dimaksud barang ('ain) di sini ialah apa saja yang bisa dilihat oleh mata. Sedang perut Oauf), maksudnya rongga dalam badan di balik kerongkongan hingga ke lambung dan usus. Atau, jauf diartikan pula otak. Adapun rongga yang tembus ke perut ialah mulut, hidung telinga, kubul dan dubur pria maupun perempuan.
melaluiataubersamaini demikian, memdiberi obat tetes ke pendengaran membatalkan puasa, lantaran pendengaran itu rongga yang tembus ke perut. Sedang obat tetes mata tidak, lantaran mata itu buntu.
Begitu pula, suntikan lewat dubur atau kubul membatalkan, lantaran kedua-duanya tembus ke perut, sedang yang lewat urat daging tidak, lantaran urat daging itu bukan rongga, demikian seterusnya. Dan ini tiruana dengan syarat disengaja. Adapun jika salah satunya dilakukan tidak sengaja, maka tidak mengapa, dikiaskan kepada masakan dan minuman.
Dan jika perut kemasukan lalat, nyamuk atau bubuk jalanan, maka puasa tidak batal, lantaran untuk menghindarinya susah sekali.
Begitu pula jika seseorang menelan ludahnya sendiri, maka puasanya tidak batal, lantaran susah menghindarinya. Adapun jika yang ditelan itu ludah yang najis, menyerupai halnya orang yang gusinya berdarah, sedang mulutnya belum dicuci, sekalipun ludahnya bewarna putih, tetapi itu membatalkan puasa.
Sekarang, jika orang berkumur atau menghirup air ke hidung, kemudian airnya tertelan ke perut, maka tidak membatalkan puasa, jika saat berwudhu' itu, berkumur dan menghirupnya tidak bersangatan (mubalaghah). Tetapi, jika bersangatan, maka membatalkan. Karena ia sudah melaksanakan sesuatu yang terlarang selagi berpuasa.
Sedang apabila ada sisa masakan di sela-sela gigi, kemudian tanpa sengaja hanyut oleh ludah ke dalam perut, maka tidak membatalkan, apabila dia tidak bisa mengorek sisa masakan itu dan meludah- kannya. Karena dia tidak sengaja dan dimaafkan. Tetapi, jika dia bisa mengoreknya, maka membatalkan, alasannya yaitu dia lalai.
Kemudian, jika ada orang dipaksa makan atau minum, ini pun tidak batal puasanya, lantaran dia tidak bisa lagi dihukumi sebagai orang yang bisa memilih.
3. Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa, sekalipun pelakunya yakin tidak ada sesuatu yang balik lagi ke perut. Sedang jika muntah itu tidak sengaja, maka tidak mengapa, sekalipun yakin ada sebagian yang sudah keluar benar-benar balik lagi ke perut tanpa sengaja.
Dalilnya sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ ذَرَعَهُ قَئٌ ـ وَهُوَ صََائِمٌ ـ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ٬ وَاِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ٠
Artinya: "Barangsiapa muntah tanpa sengaja, selagi berpuasa, maka dia tidak wajib qadha’. Tapi bila ia sengaja muntah, maka hendaklah ia melaksanakan qadha. " (H.R. Abu Daud: 2380, At-Tirmidzi: 720 dan lainnya)
4. Bersetubuh-tubuh dengan sengaja
Bersetubuh dengan sengaja membatalkan puasa, sekalipun tidak mengeluarkan mani. Dalilnya ialah firman Allah Ta'ala:
Artinya: "Dan makan-minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga malam, (tetapi) tidakbolehlah engkau campuri mereka (isteri- isterimu), sedang engkau diberi 'tikaf dalam masjid. " (Q.S. al-Baqarah 2:187)
Al-Khalthul Abyadh, benang putih, maksudnya cahaya siang.
Ak-Khaitul Aswad, benang hitam, ialah jasus malam. Sedang fajar ialah cahaya yang terbit sepanjang cakrpertamaa, yang dengan terbitnya itu berakhirlah malam, dan mulailah siang.
Tubasyiruhunna: engkau menyetubuhi isteri-isterimu.
Wa antum 'akifuna: sedang engkau dalam keadaan diberi'tikaf. Adapun jika persetubuhan itu dilakukan tanpa sengaja, maka tidaklah membatalkan puasa, lantaran dikiaskan kepada makan dan minum.
5. Mengeluarkan mani dengan sengaja (istimna')
Yakni, lantaran berciuman umpamanya, atau lantaran melaksanakan onani. Kesengajaan mengeluarkan mani membatalkan puasa, sedang yang tidak sengaja, tidak.
Dalam pada itu, mencium isteri saat berpuasa Ramadhan yaitu makruh tahrim, bagi orang yang masih tergerak syahwatnya, baik pria maupun perempuan, lantaran hal itu mengantar ke arah rusaknya puasa. Adapun bagi orang yang sudah tidak tergerak lagi syahwatnya, mencium isteri pun baginya lebih baik ditinggalkan, supaya soal ini sama sekali tidak dilakukan orang.
Menurut riwayat Muslim (1106) dari 'Aisyah RA, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِىْ وَهُوَ صََائِمٌ ٠ وَاَيُّكُمْ يَمْلِكٌ اِرْبَهُ كَمَا كَانَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ اِرْبَهُ٠
Artinya: "Pernah Rasulullah SA W menciumku selagi dia berpuasa. Tapi, siapakah di antara engkau yang sanggup menguasai syahwatnya, menyerupai halnya yang dilakukan Rasulullah SAW?
Para Ulama' berkata: Maksud perkataan 'Aisyah RA ialah, bergotong-royong engkau harus menghindari berciuman, dan tidakboleh menanggap bahwa dirimu diperbolehkan melakukannya menyerupai Nabi SAW. Karena dia bisa menguasai dirinya dan tak mungkin melaksanakan ciuman yang menyebabkan keluarnya mani, atau yang menyebabkan syahwat, atau membangkitkan nafsu dsb. Sedang engkau tidak terjamin dari hal-hal tersebut.
6. Haid dan Nifas
Haid dan nifas membatalkan puasa, lantaran kedua-duanya ialah udzur yang menghalangi sahnya puasa. Artinya, apabila seorang perempuan yang sedang berpuasa kehadiran haid atau nifas pada sebagian siang, maka batallah puasanya, dan ia wajib mengqadha' puasa hari itu pada hari yang lain. Menurut riwayat al-Bukhari (298) dan Muslim (80), dari Abu Sa'id RA:
اَنَّ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِى الْمَرْاَةِ وَقَدْ سُئِلَ عَنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا ׃ اَلَيْسَ اِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ ؟
Artinya: "Bahwa Rasulullah SAW berkata ihwal perempuan saat dia ditanya ihwal kurangnya agama wanita: "Bukankah apabila dia haid, maka dia tidak shalat dan tidak pula berpuasa?"
7. Gila dan murtad.
Gila dan murtad yaitu pencegah sahnya puasa. Karena orang yang mengalaminya keluar dari kepatutan diberibadat.
Demikianlah, orang yang berpuasa berkewajiban menahan diri dari hal-hal tersebut di atas yang membatalkan puasa, supaya puasanya itu sah, semenjak permulaan terbitnya fajar hingga matahari benar- benar terbenam. Dan jika ada salah satu di antara hal-hal tersebut yang dilakukannya, lantaran menyangka fajar belum menyingsing, tapi ternyata persangkaannya keliru, maka batal puasanya, namun begitu dia tetap wajib menahan diri dari makan-minum dan lain- lain, demi menghormati bulan Ramadhan, kemudian dia mengqadha' puasa yang ditinggalkannya itu pada hari lain.
Dan begitu pula, apabila dia berbuka puasa pada sore hari, lantaran menyangka matahari sudah terbenam, tapi ternyata belum, maka puasanya pun batal, dan wajib mengqadha'nya kelak.
Tag :
Ilmu Puasa
0 Komentar untuk "Rukun-Rukun Puasa"